- Turunane ayam biyasa + ayam kate
Jenenge Wareng - Turunane ayam biyasa + ayam alas
Jenengane Bekisar - Turunane ayam biyasa + ayam bekisar
Jenenge ayam bekikuk - Turunane bebek + mentok
Jenengane brati - Turunane jaran + kuldi
Jenengane bihal
Minggu, 30 Juni 2013
Jenenge Turunane Kewan
Jenenge Gaman Kewan
- Gamane ayam jago : Cucuk, jalu
- Gamane asu : Siyung, kuku
- Gamane gajah : Gadhing, tlate
- Gamane jaran : Sikil
- Gamane kebo, sapi : Sungu
- Gamane kidang, wedhus : Sungu
- Gamane kombang, tunggeng : Entup
- Gamane tawon, kalajengking : Entup
- Gamane landhak : Wulu eri
- Gamane lele : Patil
- Gamane macan, kucing, singa : Kuku, siyung
- Gamane tikus : Kuku, untu
- Gamane tikus clurut, rase : Ganda
- Gamane ula : Wisa
- Gamane warak (badhag) : Cula
- Gamane yuyu, kepiting : Capit
Sabtu, 29 Juni 2013
Sebutane Wit
- Wit aren
Jenenge Ruyung - Wit gedhang
Jenenge Debog - Wit jagung
Jenenge Tebon - Wit jambe
Jenenge Pucang - Wit kacang
Jenenge Rendeng - Wit kapuk
Jenenge Randhu - Wit krambil
Jenenge Glugu - Wit mlinjo
Jenenge So, bego - Wit pari
Jenenge Damen - Wit pohong
Jenenge Bonggol - Wit pring enom
Jenenge Bung - Wit pring tuwa
Jenenge Bungkilan - Wit siwalan
Jenenge Tal, bogor - Wit tela
Jenenge Lung
Sebutane Mangan
- Mangane asu, babi : Nocok
- Mangane baya : Nyaplok
- Mangane buta, diyu : Mbadhog
- Mangane celeng : Nggogos
- Mangane glathik : Nisil
- Mangane kebo, sapi : Nyenggut, nggayemi
- Mangane kethek : Ngrokoti, ngemil
- Mangane macan : Nggaglak
- Mangane pitik, manuk : Notol, nucuk
- Mangane singa : Mangsa
- Mangane tikus : Ngrikiti
- Mangane ula : Nguntal
- Mangane wedhus : Nyenggut, nggayemi
- Mangane wong : Buka, saur (wayah pasa), sarapan (wayah esuk), Madhang (wayah awan/sore), Menthong (watara awan lan sore)
Jumat, 21 Juni 2013
Mitos dan Legenda Nyai Rantansari, bumiayu
Sunan
Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan
rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat
membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama
“DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana
yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan
main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah
menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas
seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu
di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan
rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang
mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat
sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat
keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah
SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.
Kamis, 20 Juni 2013
Gilitugel
GILITUGEL! Demikian
orang menyebut pertigaan jalan antara Jalan Diponegoro – AR. Hakim dan Sudirman
di Kota Tegal. Pertigaan jalan tersebut merupakan jalur Tegal – Slawi dan Tegal
– Jakarta.
Sepintas
kilas pertigaan itu seperti tidak ada yang istimewa. Tiap hari perlintasan
tersebut disibukan berbagai jenis kendaraan yang lewat di situ. Juga pada
malamhari, tak sedikit di trotoar sebelah Timur dan Barat menjadi tempat warung
lesehan temporer terutama di sebelah Barat. Tapi cobalah menorobos ke dalam
terowongan waktu kilas balik pada peristiwa yang pernah terjadi, betapa
memedihkan lahirnya asal-usul Gili Tugel!
Tragedi
memedihkan itu ditandai ketika dua adipati gugur dalam adu tanding. Antara
Adipati Martoloyo dari Kadipaten Tegal dan Adipati Martopuro dari Kadipaten
Jepara, saling tikam dengan sebilah keris hingga keduanya berakhir tragis, mati
sampyuh.
Akhir tahun 1670 – dan berakhir beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun 1677, situasi Mataram kacaubalau dengan merebaknya perang saudara yang luar biasa. Atas kekacauan itu, Amangkurat I kewalahan sampai dia pun menyingkir ke arah Barat karena Mataram dikuasai Trunojoyo, namun kekacauan terus berlanjut membabi-buta. Dalam kebingungan, Amangkurat I bersekutu dengan VOC untuk meredam kekacauan yang menggila. Dengan campur tangan VOC, perang berakhir. Namun setelah perang saudara usai, justru disinilah awal dari segala persoalan panjang bernama penjajahan. Karena atas jasanya meredakan kekacauan di tlatah Mataram, VOC meminta bayaran yang teramat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh pihak kerajaan. Inilah yang menjadi beban Amangkurat I hingga akhir hayatnya.
Akhir tahun 1670 – dan berakhir beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun 1677, situasi Mataram kacaubalau dengan merebaknya perang saudara yang luar biasa. Atas kekacauan itu, Amangkurat I kewalahan sampai dia pun menyingkir ke arah Barat karena Mataram dikuasai Trunojoyo, namun kekacauan terus berlanjut membabi-buta. Dalam kebingungan, Amangkurat I bersekutu dengan VOC untuk meredam kekacauan yang menggila. Dengan campur tangan VOC, perang berakhir. Namun setelah perang saudara usai, justru disinilah awal dari segala persoalan panjang bernama penjajahan. Karena atas jasanya meredakan kekacauan di tlatah Mataram, VOC meminta bayaran yang teramat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh pihak kerajaan. Inilah yang menjadi beban Amangkurat I hingga akhir hayatnya.
Pemerasan
VOC terhadap kerajaan Mataram, berlanjut sampai kerajaan dipegang oleh
Amangkurat II. Dia menjadi bingung karena harus melunasi ‘hutang’ yang tertunda
kepada VOC. Padahal pascakerusuhan, kas Kerajaan kosong dan nyaris bangkrut. Dalam kebingungan yang
memuncak, Amangkurat II terpaksa merelakan wilayah pesisir tara Jawa dikuasai
oleh VOC. Kendatipun mereka tetap membayar uang sewa tiap tahunnya, tetapi
tidak VOC pernah mengembalikan wilayah pesisir utara kepada kerajaan. Hal ini
membuat Mataram kehilangan pendapatan penting, dan Jawa Tengah terisolasi dari
Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Komunikasi dengan usat-pusat studi di Asia
Selatan menjadi sulit, dan kian meningkatnya ketergantungan terhadap Belanda. Adipati Martoloyo yang
saat itu memimpin Kadipaten Tegal termasuk salah satu adipati yang tak patuh
pada rajanya. Ia selalu membangkang untuk tidak memberikan upeti pada Mataram.
Padahal daerah kekuasaan Martoloyo telah diperluas dari pantai Jepara ke Barat
hingga wilayah Tegal, Brebes dan Losari.
Dalam
pandangan Martoloyo, Amangkurat II itu benar-benar berhamba betul pada Belanda.
Karena itu dia tak mau membayar pajak, dan ini yang menyebabkan hubungan antara
bawahan dan rajanya semakin besitegang. Tapi pihak Belanda tak kurang akal.. Hatta, dibawah Gubernur
Jendral Mr Maetsuyke, dia mengutus Laksamana Cornelis Speelman dari VOC untuk
menemui Amangkurat II. Tujuannya bagaimana melenyapkan Martoloyo. Adipati Tegal
yang paling kocolan dan pembangkang selalu bersitegang dengan rajanya.
Politik
devide et impera yang kemudian digunakan Belanda ntuk melenyapkan Adipati
Martoloyo, dijalankan. Caranya, Amangkurat II diperintahkan untuk menggelar
pertemuan agung para adipati se-Jawa bertempat di Kadipaten Jepara. Topik utama
diagendakan, adalah penandatananan ‘Naskah Kerjasama’ dengan imbalan
tanah-tanah milik Kerajaan Mataram.. Maka pada tanggal 17 Januari tahun1678
berlangsung acara itu, dihadiri semua adipati termasuk Adipati Martoloyo dan
Martopuro.
Nyatanya, Martoloyo yang memiliki kuat prinsip, menentang keras kesepakatan itu dan menolak untuk berkerjasama. Dia pun mutung dan akhirnya menyingkir meninggalkan pertemuan agung. Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap Martoloyo.
Nyatanya, Martoloyo yang memiliki kuat prinsip, menentang keras kesepakatan itu dan menolak untuk berkerjasama. Dia pun mutung dan akhirnya menyingkir meninggalkan pertemuan agung. Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap Martoloyo.
Amangkurat
II tahu, kalau kesaktian Martoloyo itu tak tertandingi. Satu-satunya adipati
yang mampu bertarung melawan Martoloyo, cuma Martopuro yang memiliki kesaktian
dari satu guru dan satu ilmu.
“Adipati
Martopuro, susul Martoloyo sekarang juga. Hadapakan kepadaku hidup atau mati”
printah Amangkurat II.
“Inggih Sinuhun
Amangkurat, perintah Sinuhun siap hamba laksanakan”
Seperti kerbau dicocok hidungya, Adipati Martopuro bergegas menjemput Martoloyo. Sesampai dihadapan Martoloyo, ternyata Martopuro tak mampu menyatakan maksud tujuannya. Tapi Martoloyo tahu apa yang ingin diutarakannya. Oleh karenanya Martoloyo memberi nasehat. Namun bukan kebulatan yang dicapai, melainkan meruncingnya perselisihan diantara keduanya memicu perang tanding. Keduanya saling tikam dengan menggunakan pusaka keris sakti. Martoloyo mati karena tikaman keris Ki Kasur, sedang Martopro mati karena tikaman keris Ki Sepuh.
Seperti kerbau dicocok hidungya, Adipati Martopuro bergegas menjemput Martoloyo. Sesampai dihadapan Martoloyo, ternyata Martopuro tak mampu menyatakan maksud tujuannya. Tapi Martoloyo tahu apa yang ingin diutarakannya. Oleh karenanya Martoloyo memberi nasehat. Namun bukan kebulatan yang dicapai, melainkan meruncingnya perselisihan diantara keduanya memicu perang tanding. Keduanya saling tikam dengan menggunakan pusaka keris sakti. Martoloyo mati karena tikaman keris Ki Kasur, sedang Martopro mati karena tikaman keris Ki Sepuh.
Geger
kematian kedua adipati, tercium oleh Gendowor. Plekatik Martoloyo yang setia
itu bergegas meninggalkan tempat dimana dia bekerja sebagai pencari rumput
untuk kuda majikannya. Dengan sabit ditangan, perasaan gerah dan dongkol,
dipacu kencang kuda tunggangannya menuju pendopo. Di sana dilihatnya rakyat
Tegal berjubel-jubel. Gending lara tangis bertalu-talu. Begitu menyayat ulu
hati.
Turun
dari kuda, bergegas Gendowor berjakan menuju pendopo. Langkah Gendowor
tergopoh-gopoh dan betapa terkejutnya ketika mendapatkan majikannya telah tewas
di samping Adipati Martopuro dengan bercikan darah di mana-mana. Sebagian
mengering, sebagiannya lagi bau anyir darah segar menyengat hidung.
Di
sisi mayat majikannya, Gendowor bersimpuh. Ia berjanji akan menumpas semua
Kompeni Belanda. Maka dipacu kuda tunggangannya memburu orang-orang Kompeni.
Orang-orang Kompeni yang berpapasan dengannya ditebas batang lehernya. Puluhan
kepala bergelimpangan dan darah berceceran. Tempat pemengalan kepala itu
terjadi di pertigaan Gilitugel.
Peristiwa
lain yang tak kalah tragisnya, juga terjadi di pertigaan jalan itu. Pada abad
18, sewaktu Mr Herman William Daendels membuat jalan raya sepanjang 1000 Km
dari Anyer sampai Penarukan, banyak rakyat pribumi menjadi korban akibat kerja
rodi, termasuk rakyat Tegal yang tanahnya dilalui proyek pembuatan jalan. Saat itu, Bupati
Tegal yang dipimpin RM Tumenggung Panji Haji Cokronegoro setiap hari dibikin
repot, karena harus menyediakan 1000 orang untuk kerja paksa. Oleh
karenanya, ia sangat prihatin dan sedih. Tidak sedikit rakyat yang kurang patuh
harus mendapat hukum pancung. Hampir setiap hari, Bupati Tegal menyaksikan
peristiwa yang memedihkan itu. Tempat pelaksanaan hukuman pancung bagi yang
menentang kerja rodi, terjadi di pertigaan jalan itu. Sejak itu, rakyat Tegal
menamai jalan tersebut sebagai ‘Gilitugel’, asal-muasal dari kata ‘Gulu Tugel’.
Dalam bahasa Jawa, ‘Gili’ artinya ‘jalan’. Sedang kata ‘Tugel’ artinya ‘Putus’.
Begitulah
lahirnya pertigaan jalan yang disebutkan di atas. Oleh warga masyarakat,
peristiwa itu disebut sebagai tragedi ‘Gilitugel’
Kamis, 13 Juni 2013
Legenda Paguyangan
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kembali Gusti Sunan
harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik kereta kencananya mendadak
jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara ia lakukan untuk dapat
mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai
Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki
daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan
beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang
dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji
(yang dulu pernah menjadi spionase ayahandanya, Sultan Agung). Tempat tersebut
sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa
Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat
I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan (yang
berarti tempat singgah ; sanggrah).
Penamaan Ajibarang
Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keratin
dengan mengambil route perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di
Kadipaten Carbon atau Caruban atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di
suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan.
Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus
kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara
infanteri dengan medan yang berat dan sangat jauh.
Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama
Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta kencananya, kemudian
berusaha m
Asal usul kota bumiayu
Oleh karenanya, penulis tidak mencantumkan kata “sejarah”,
untuk menghindari adanya satu anggapan upaya pemelintiran kata “sejarah” (yang
menurut para sesepuh dan tokoh, Bumiayu dan dan empat kecamatan lain
disekitarnya, yakni ; Paguyangan, Bantarkawung, Sirampog dan Tonjong tidak
memiliki hubungan historis dengan sejarah penamaan Brebes sebagai induk
pemerintahannya).
Penulis sangat merasa berterimakasih
jika ada diantara pembaca dapat memberikan informasi (terutama berkaitan erat
dengan nama ; Balaikambang, Kedatuan, Linggapura, Pesanggarahan, Balapusuh,
Rajawetan, Margasari, Balapulang, dan Slawi) yang masih belum dapat tercover
dalam tulisan ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan, terutama bagi yang
memiliki ikatan kultural dengan Kota Bumiayu dan sekitarnya.
ASAL USUL NAMA DESA TANGGUNGSARI KECAMATAN KETANGGUNGAN
Dahulu kala,
ada seorang bernama Nasirudin atau Nasirun yang berasal dari Gunungsari,
Cikulak, Ciledug Jawa Barat. Nasirudin ini adalah seorang anak muda yang haus
akan ilmu kesaktian. Berbagai tempat ia datangi. Asal disitu ia mendengar ada
seorang bijak atau sakti maka ia pasti akan mendatanginya untuk berguru.
Petualangan Nasirudin ini sampai membawanya ke wilayah Jawa Timur, tepatnya
disekitar daerah Sunan Gresik. Kedatangan dia ke situ juga dengan maksud
menimba ilmu.
Hingga pada suatu hari,
usai beberapa lama menimba ilmu di Gresik, Nasirudin memutuskan untuk pulang
kerumah. Hingga suatu waktu, perjalanannya sampai di wilayah Desa
Ketanggungan. Di tempat ini, Nasirudin memutuskan beristirahat. Pada saat
itulah, Nasirudin yang dasarnya juga anak muda yang cukup ramah terlibat
pembicaraan sengan warga sekitar. Dari situ, dia mendengar bahwa di sekitar
desa Ketanggungan ini masih banyak wilayah yang masih liar dan kosong
penghuninya.
|
Sejarah Kelahiran Brebes
Beberapa cerita rakyat tentang
muncul/lahirnya beberapa nama desa-desa tertentu didalam wilayah Kabupaten
Brebes memang ada. Misalnya nama desa Padasugih, Wangandalem, Gandasuli,
Pasarbatang, Kersana, Ketanggungan dan sebagainya. Namun itu semua hanya
terlontar dari mulut ke mulut turun temurun. Tidak ada data pendukungnya untuk
dijadikan bahan dalam penulisan sejarah lokal. Kalau saat ini sudah ada
beberapa orang yang menyempatkan diri merekam cerita-cerita rakyat tersebut
didalam bentuk tulisan, alhasil hanyalah merupakan rekaman belaka, yang
tetapbelum menyandang bobot sebagai data penulisan sejarah. Sebuah kisah
menarik mengenai lahirnya kota Brebes justru kita jumpai dalam Serat Kanda
edisi Brandes.
Menurut kisah ini, setelah kerajaan
Majapahit berdiri dan Raden Susuruh dinobatkan menjadi raja dari kerajaan yang
baru itu dengan nama Brawijaya yang terjadi tahun 1221 Saka (tahun 1299 Masehi)
dengan candra sangkala Sela-Mungal-Katon-Tunggal, sri baginda raja Brawijaya
juga mengangkat Wirun menjadi pepatih dengan nama julukan Adipati Wirun,
Rabu, 05 Juni 2013
Filsafat Jawa, Ajaran Luhur Warisan Leluhur
Petis manis pupus tebu saupama, ~kepriye werdine . . .
Aja ngucap nora teges tanpa guna, ~kepriye karepmu . . .
Petis manis sarpa langking saupama, ~kepriye werdine . . .
Aja ngucap yen ta amung samudana
(Ki Narto Sabdo, Lagon "Petis Manis")
Aja ngucap nora teges tanpa guna, ~kepriye karepmu . . .
Petis manis sarpa langking saupama, ~kepriye werdine . . .
Aja ngucap yen ta amung samudana
(Ki Narto Sabdo, Lagon "Petis Manis")
Sekarang ini, pencarian jati diri dalam kehidupan bermasyarakat sedang gencar-gencarnya.
Sudah banyak orang yang menyadari akan pentingnya kebudayaan tradisional, kebudayaan ini tetap dilacak untuk memahami jati diri bangsa sesungguhnya.
Sudah banyak orang yang menyadari akan pentingnya kebudayaan tradisional, kebudayaan ini tetap dilacak untuk memahami jati diri bangsa sesungguhnya.
Aksara Jawa
Aksara Jawa, atau dikenal dengan nama Hanacaraka atau Carakan , adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makasar,bahasa Sunda, dan bahasa Sasak. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan abugida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Nama aksara ini dalam bahasa Jawa adalah Dentawiyanjana.
Pambuka
Alhamdulillah semoga blog ini bisa menjadikan upaya dan niat kami untuk nguri uri (menjaga) budaya dan bahasa Jawa lebih maksimal lagi.
Blog ini akan diisi dengan cuplikan keanekaragaman budaya Jawa. Mulai dari filsafatnya yang luhur, materi pembelajaran untuk SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA.
Kami menerima banyak kritikan dan saran.
Terima kasih.
TIM SINAU BUDAYA JAWA
Senin, 03 Juni 2013
Asal Mula Desa Panggung
DI BAWAH
rerimbunan pohon kamboja, makam itu tampak menonjol dari kejauhan. Agaknya
memang sengaja dibangun dalam kapasitas keistimewaan tersendiri, karena
bentuknya seperti makam raja-raja Jawa. Lokasi makam itu juga diberi benteng
tembok sebagai pembatas dari makam-makam lainnya. Itulah makam Sunan Panggung
atau orang Tegal menyebutnya Mbah Panggung.
Makam
Mbah Panggung terletak di wilayah Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur,
Kota Tegal. Siapakah sebenarnya Mbah Panggung atau Sunan Panggung itu? Dia
adalah sama orangnya dengan Sunan Drajat, salah seorang Walisanga. Putra dari
Sunan Ngampel atau Raden Rachmat dari istri yang berasal dari Campa. Dia,
termasuk pangeran terpandai diantara saudaranya. Ia tidak suka berdiam diri di
dalam istana kerajaan dibanding dengan Sunang Bonang, saudaranya, yang lebih
suka mendekam di istana. Sebaliknya Sunan Panggung justru lebih memilih jalan
pengembaraan untuk memperdalam ilmu Agama Islam.
Kalipah
Tersebutlah orang sakti mandraguna Sutadirana. Lebih dikenal dengan panggilan Mbah Suta. Seorang pendatang yang tengah melakukan perjalanan spiritual dari arah Barat menuju ke Timur.
Dalam perjalanan, sampailah dia di lapangan Dwi Windhu Pangkah, Kabupaten Tegal. Di lokasi itu Mbah Suta melihat ada lubang mata air sebesar pipa di bawah pohon rindang dan berhawa lembab. Mbah Suta tertarik akan lokasi itu karena ada getaran tertentu. Di situ, akhirnya dia melakukan tapa.
Ternyata, tanpa disadari oleh Mbah Suta, lubang tersebut merupakan pintu keluar masuk singgasana Ratu Siluman Buaya Putih. Tak heran kalau lama ke lamaan hawa di dalam Kerajaan Siluman menjadi panas.“Bumi bawah tanah bagai terbakar. Panas, panas….” teriak para siluman bertelanjang dada sambil belarian.
“Ada apa ini? Matahari seperti tak bersinar, gelap dimana-mana. Angin tak berhembus, panas sedemikian rupa rasanya mau membakar seluruh isi istana”.
Di dalam kegerahan, mereka berlari saling bertabrakan. Satu sama lain ingin mengetahui asal penyebab masalah. Keriuhan dan kebisingan menghampar ke seluruh sudut-sudut istana. Di tempat pembaringan, Ratu Silumah Buaya Putih merasakan juga hal yang sama. Panas membakar dan kekisruhan anak buahnya mengganggu benar tidur siang Sang Ratu. Dengan marahnya, dia segera ke luar dari kamar. Di lihatnya para anak buah berkelojotan dan berlari-lari pontang-panting.
“Hai, hai! Kenapa kalian saling berlarian. Apa yang terjadi?!” teriak sang Ratu pada mereka. “Mohon ampun Kanjeng Ratu, apakah Kanjeng Ratu tidak merasakan hawa di dalam kejaraan ini demikian panas? Bumi rasanya seperti dikucur bara timah yang meleleh begitu deras,” kata salah satu dari mereka.
Sang Ratu tanggap sasmita. Ia segera
mengheningkan cipta, mematikan rasa, pikir dan seluruh panca indra. Sesudah
itu, ia menyuruh anak buahnya menyelidiki apa yang terjadi di luar kerajaan.
Bagai anak panah yang melesat dari busurnya, seluruh anak buah berhaburan ke
atas. Tapi berulangkali menembus atas bumi, mereka gagal. Bumi seakan dilapisi
berton-ton baja tanpa mampu ditembus. Mereka akhirnya kembali menghadap Kanjeng
Ratu. “Mohon ampun Kanjeng Ratu. Kami tak sanggup menembus
lapisan bumi. Lapisan bumi serasa terlapisi baja dan tak dapat dilewati oleh
kami,” ujar mereka.
Kanjeng Ratu terpaksa turun tangan. Dengan kekuatan yang dimiliki, ia menembus
pori-pori bumi. Sampai di atas, dilihatnya Mbah Suta sedang duduk bersila
dengan mata terpejam dan kedua tangan bersedekap.
Minggu, 02 Juni 2013
Keraton Pringgodani
Dongeng
atau cerita yang hidup di plawangan
khususnya dan di kabupaten pemalang umumnya, tentang keraton pringgodani.
Cerita ini didapat dari bapak karmin , 80 thn. Juru kunci candi plawangan.
Pada
zaman dulu di plawangan ada kerajaan namanya pringgodani, yang di perintah oleh
keluarga hari. Rja ini berwujud raksasa, dan mempunyai kebiasaan makan daging
orang.
Raja
pertama bernama prabu harimboko atau lebih dikenal tremboko.
Pada
suatu hari, sang raje meminta giliran kepada salah satu penduduk yang menerima
giliran untuk mengantar manusia. Karena susahnya, keluarga itu siang malam
tidak dapat memutuskan siapa yang harus diserahkan, dirinya, istrinya atau anak
tunggalnya. Malam selum gilirannya, di rumahnya menginap seorang pemuda yang
mengaku bernama brotoseno yang karena mendengar kesusahan keluarga itu dan
karena merasa sudah berhutang budi karena sudah bisa menginap, ia bersedia
untuk menjadi pengganti keluarga itu.
Paginya
brotoseno diantar ke hadapan sang raja yang kebetulan menghadap pula putrinya
yang bernama dewi harimbi.
Putri
itu tertarik kepada pemuda yang akan menjadi korban ayahnya itu dan memohon
kepada ayahnya agar agr untuk kali ini pemuda itu jangan dijadiakan korban.
Sayang sang prabu sudah sangat lapar, maka segala permohonan putrinya itu tidak
dikabulkan.
Brotoseno
segera akan dimakan, tetapi sang prabu terkejut, sebab kulit pemuda ini sangat
keras seperti baja dan giginya tidak mampu melukai kulit brotoseno.
Akhirnya
kemarahannya yang tak terkendalikan, terjadilah perkelahian antara prabu
tremboko dengan brotoseno yang berakhir gugurnya prabu tremboko.
Sepeninggalan
prabu tremboko, pringgodani di pimpin anak sulungnya yang bernama prabu
harimbo.
Pada
suatu hari, dewi harimbi sebagai adiknya harimbo, meminta izin untuk kawin
dengan brotoseno, tetapi kakaknya menolak mentah-mentah dengan alasan bahwa
brotoseno telah membunuh ayahandanya, jadi dia adalah musuh, bahkan dewi
harimbi diusir.
Lalu
prabu harimbo marah dan menantang berkelahi dengan brotoseno dan terjadilah
perkelahian dengan seru. Dalam perkelahian itu prabu harimbo kalah dan mayatnya
dilempar ke sungai. Karena rambutnya panjang menurut kepercayaan penduduk
rambut itu sering terlihat di sunai itu dan sejak itu sungai terlihatnya rambut
prabu harimbo disebut sungai rambut.
Sepeninggalan
saudaranya, dewi harimbi yang menggantikan sebagai ratu, mempunyai keraton dua,
yakni di barat sebagai keraton lama terletak di plawangan dan di timur di
pinggir sungai comal.
Dari
cerita diatas, penyusun dapat mengambil intisarinya. Lepas dari benar tidaknya
dongeng rakyat plawangan, perlu dicatat bahwa:
1. Di
plawangan ada kerajaan yang menurut dongeng rakyat setempat namanya kerajaan
“pringgodani”. Sementara sumber cina menyebutkan kerajaan “holing” yang oleh
sejarawan indonesia sering dinamakan dengan nama kalingga. Jadi, “pringgodani”
identik dengan kalingga.
2. Keluarga
raja yang memerintah adalah keluarga ari(arimba). Sementar raja putri arimbi
kalau dibandingkan sumber cina dan barat, mungkin sama dengan dewi sima yang
menikah dengan keluarga kerjaan mataram yang pertama yaitu sanaka(samaha) yang
oleh penduduk diartikan sena,yang oleh dongeng disamakan dengan brotoseno, yang
sudah beragama hindu.
3. Rajanya
berwujud manusia raksasa, mungkin agamanya belum hindu (pemujaan nenek moyang).
Dari catatan ini jelas bahwa kerajaan kalingga(pringgodani), namun versi rakyat
sesuai kerajaan tarumanegara dan seraman awal mataram pertama (era raja sanaka
ayah raja sanjaya). Tegasnya di plawangan patut diduga letak kerajaan hling
atau kalingga yang oleh penduduk dinamakan kerajaan pringgodani.
Lepas
dari benar tidaknya dongeng rakyat plawangan, ada suatu bukti yang tidak bisa disangkal,
bahwa di derah plawangan telah ditemukan bukti-bukti arkeologi sebagai fakta
historis, yang seakan-akan membenarkan dongeng rakyat plawangan.
Keraton
sirawung atau si geseng
Dongeng
rakyat yang mengenai daerah ini banyak ragamnya yang pada hakekatnya dongeng-dongeng
itu menganggap bahwa di hutan sirawung atau si geseng pada zaman dahulu adalah
sebuah kerajaan.
Adapun
inti-inti cerita itu sebagai berikut:
1. Orang-orang
plawangan mengatakan bahwa daerah sirawung dulu merupakan bagian dari
pringgodani dan pernah menjadi tempat pelarian dewi harimbi yang diusir oleh
kakaknya yang tidak setuju dia kawin dengan brotoseno.
2. Menurut
juru kunci candi si geseng, daerah itu disebut jamban dalem. Disebut sirawung
karena rakyat keraton itu, yang berupa lelembut atau makhluk halus yang dapat
bergaul(srawung) dengan manusia biasa. Bernama si geseng artinya si gelap, si
hitam, sebab tempat itu tempat yang gelap bagi manusia biasa.
3. Menurut
oarng pemalang, kanjeng swargi atau kanjeng raden arya adipati reksoprojo yang
wafat tahun 1825, yang tidak mau tunduk kepada VOC untuk menangkap pangeran
diponegoro pernah menghilang atau mengungsi ke keraton sirawung. Demikian juga
kanjeng raden tumenggung ronggo soero adi negoro yang wafat tahun 1862, pernah
bertandang ke keraton sirawung.
Pangeran Benawa juga masih hidup dan
berkedaton di sirawung.
4. Bapak
williem otto machenzie,dengan bersumpah mengatakan, bahwa beliau waktu rumahnya
masih di gembol manis, yakni di hutan sirawung, tiap malam rombongan pemukul
gamelan lewat di depan rumahnya dan anjing-anjing beliau tidak berani menyalak
dan hanya duduk. Jadi ada suara tapi tidak ada rupa.
5. Cerita
para nahkoda kapal asing yang kapalnya kandas di pantai hutan sirawung,
menerangkan bahwa pada umumnya mereka melihat sebuah pelabuhan. Juru kunci yang
sudah berusia lebih dari 100 tahun pernah menyaksikan empat kali kapal kandas.
Bapak
willem otto machenzie juga membenarkan bahwa kapal-kapal yang kandas, katanya
sebab diwaktu malam melihat pelabuhan.
Kapal
kandas yang terakhir adalah di tahun 1956, yakni kapal inggris yang memuat
gambir dan tekstil.
Lepas
dari benar tidaknya beberapa cerita rakyat di daerah pemalang tentang hal-hal
yang ajaib di hutan sirawung, pada pokoknya ada persamaan motif, yakni bahwa di
sirawung zaman dahulu ada sebuah kerajaan.
Kesimpulan:
a. Di
sirawung ada sebuah tempat yang disebut jamban dalem, nama kerajaan setempat
tidak tahu.
b. Adanya
pertemuan dan peninggalan historis yang ditemukan di daerah itu, mendekatlan
“kebenaran” dongeng rakyat setempat dengan fakta historis.
Tempat gelap ini tetap gelap, nama si geseng
cukup membuat rakyat setempat tidak berani sembarang menyebut, hingga tempat
itu gelap.
Langganan:
Postingan (Atom)