Minggu, 30 Juni 2013

Jenenge Turunane Kewan

  • Turunane ayam biyasa + ayam kate
    Jenenge Wareng
  • Turunane ayam biyasa + ayam alas
    Jenengane Bekisar
  • Turunane ayam biyasa + ayam bekisar
    Jenenge ayam bekikuk
  • Turunane bebek + mentok
    Jenengane brati
  • Turunane jaran + kuldi
    Jenengane bihal

Jenenge Gaman Kewan

    • Gamane ayam jago : Cucuk, jalu
    • Gamane asu : Siyung, kuku
    • Gamane gajah : Gadhing, tlate
    • Gamane jaran : Sikil
    • Gamane kebo, sapi : Sungu
    • Gamane kidang, wedhus : Sungu
    • Gamane kombang, tunggeng : Entup
    • Gamane tawon, kalajengking : Entup
    • Gamane landhak : Wulu eri
    • Gamane lele : Patil
    • Gamane macan, kucing, singa : Kuku, siyung
    • Gamane tikus : Kuku, untu
    • Gamane tikus clurut, rase : Ganda
    • Gamane ula : Wisa
    • Gamane warak (badhag) : Cula
    • Gamane yuyu, kepiting : Capit

Sabtu, 29 Juni 2013

Sebutane Wit

  • Wit aren
    Jenenge Ruyung
  • Wit gedhang
    Jenenge Debog  
  • Wit jagung
    Jenenge Tebon
  • Wit jambe
    Jenenge Pucang
  • Wit kacang
    Jenenge Rendeng
  • Wit kapuk
    Jenenge Randhu
  • Wit krambil
    Jenenge Glugu
  • Wit mlinjo
    Jenenge So, bego
  • Wit pari
    Jenenge Damen
  • Wit pohong
    Jenenge Bonggol
  • Wit pring enom
    Jenenge Bung
  • Wit pring tuwa
    Jenenge Bungkilan
  • Wit siwalan
    Jenenge Tal, bogor
  • Wit tela
    Jenenge Lung          

Sebutane Mangan

  1. Mangane asu, babi : Nocok
  2. Mangane baya : Nyaplok
  3. Mangane buta, diyu : Mbadhog
  4. Mangane celeng : Nggogos
  5. Mangane glathik : Nisil
  6. Mangane kebo, sapi : Nyenggut, nggayemi
  7. Mangane kethek : Ngrokoti, ngemil
  8. Mangane macan : Nggaglak
  9. Mangane pitik, manuk : Notol, nucuk
  10. Mangane singa : Mangsa
  11. Mangane tikus : Ngrikiti
  12. Mangane ula : Nguntal
  13. Mangane wedhus : Nyenggut, nggayemi
  14. Mangane wong : Buka, saur (wayah pasa), sarapan (wayah esuk), Madhang (wayah awan/sore), Menthong (watara awan lan sore)

Jumat, 21 Juni 2013

Mitos dan Legenda Nyai Rantansari, bumiayu



Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.

Kamis, 20 Juni 2013

Gilitugel


GILITUGEL! Demikian orang menyebut pertigaan jalan antara Jalan Diponegoro – AR. Hakim dan Sudirman di Kota Tegal. Pertigaan jalan tersebut merupakan jalur Tegal – Slawi dan Tegal – Jakarta.
Sepintas kilas pertigaan itu seperti tidak ada yang istimewa. Tiap hari perlintasan tersebut disibukan berbagai jenis kendaraan yang lewat di situ. Juga pada malamhari, tak sedikit di trotoar sebelah Timur dan Barat menjadi tempat warung lesehan temporer terutama di sebelah Barat. Tapi cobalah menorobos ke dalam terowongan waktu kilas balik pada peristiwa yang pernah terjadi, betapa memedihkan lahirnya asal-usul Gili Tugel!
Tragedi memedihkan itu ditandai ketika dua adipati gugur dalam adu tanding. Antara Adipati Martoloyo dari Kadipaten Tegal dan Adipati Martopuro dari Kadipaten Jepara, saling tikam dengan sebilah keris hingga keduanya berakhir tragis, mati sampyuh.
Akhir tahun 1670 – dan berakhir beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun 1677, situasi Mataram kacaubalau dengan merebaknya perang saudara yang luar biasa.
Atas kekacauan itu, Amangkurat I kewalahan sampai dia pun menyingkir ke arah Barat karena Mataram dikuasai Trunojoyo, namun kekacauan terus berlanjut membabi-buta. Dalam kebingungan, Amangkurat I bersekutu dengan VOC untuk meredam kekacauan yang menggila. Dengan campur tangan VOC, perang berakhir. Namun setelah perang saudara usai, justru disinilah awal dari segala persoalan panjang bernama penjajahan. Karena atas jasanya meredakan kekacauan di tlatah Mataram, VOC meminta bayaran yang teramat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh pihak kerajaan. Inilah yang menjadi beban Amangkurat I hingga akhir hayatnya.
Pemerasan VOC terhadap kerajaan Mataram, berlanjut sampai kerajaan dipegang oleh Amangkurat II. Dia menjadi bingung karena harus melunasi ‘hutang’ yang tertunda kepada VOC. Padahal pascakerusuhan, kas Kerajaan kosong dan nyaris bangkrut. Dalam kebingungan yang memuncak, Amangkurat II terpaksa merelakan wilayah pesisir tara Jawa dikuasai oleh VOC. Kendatipun mereka tetap membayar uang sewa tiap tahunnya, tetapi tidak VOC pernah mengembalikan wilayah pesisir utara kepada kerajaan. Hal ini membuat Mataram kehilangan pendapatan penting, dan Jawa Tengah terisolasi dari Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Komunikasi dengan usat-pusat studi di Asia Selatan menjadi sulit, dan kian meningkatnya ketergantungan terhadap Belanda. Adipati Martoloyo yang saat itu memimpin Kadipaten Tegal termasuk salah satu adipati yang tak patuh pada rajanya. Ia selalu membangkang untuk tidak memberikan upeti pada Mataram. Padahal daerah kekuasaan Martoloyo telah diperluas dari pantai Jepara ke Barat hingga wilayah Tegal, Brebes dan Losari.
Dalam pandangan Martoloyo, Amangkurat II itu benar-benar berhamba betul pada Belanda. Karena itu dia tak mau membayar pajak, dan ini yang menyebabkan hubungan antara bawahan dan rajanya semakin besitegang. Tapi pihak Belanda tak kurang akal.. Hatta, dibawah Gubernur Jendral Mr Maetsuyke, dia mengutus Laksamana Cornelis Speelman dari VOC untuk menemui Amangkurat II. Tujuannya bagaimana melenyapkan Martoloyo. Adipati Tegal yang paling kocolan dan pembangkang selalu bersitegang dengan rajanya.
Politik devide et impera yang kemudian digunakan Belanda ntuk melenyapkan Adipati Martoloyo, dijalankan. Caranya, Amangkurat II diperintahkan untuk menggelar pertemuan agung para adipati se-Jawa bertempat di Kadipaten Jepara. Topik utama diagendakan, adalah penandatananan ‘Naskah Kerjasama’ dengan imbalan tanah-tanah milik Kerajaan Mataram.. Maka pada tanggal 17 Januari tahun1678 berlangsung acara itu, dihadiri semua adipati termasuk Adipati Martoloyo dan Martopuro.
Nyatanya, Martoloyo yang memiliki kuat prinsip, menentang keras kesepakatan itu dan menolak untuk berkerjasama. Dia pun mutung dan akhirnya menyingkir meninggalkan pertemuan agung. Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap Martoloyo.
Amangkurat II tahu, kalau kesaktian Martoloyo itu tak tertandingi. Satu-satunya adipati yang mampu bertarung melawan Martoloyo, cuma Martopuro yang memiliki kesaktian dari satu guru dan satu ilmu.
“Adipati Martopuro, susul Martoloyo sekarang juga. Hadapakan kepadaku hidup atau mati” printah Amangkurat II.
“Inggih Sinuhun Amangkurat, perintah Sinuhun siap hamba laksanakan”
Seperti kerbau dicocok hidungya, Adipati Martopuro bergegas menjemput Martoloyo. Sesampai dihadapan Martoloyo, ternyata Martopuro tak mampu menyatakan maksud tujuannya. Tapi Martoloyo tahu apa yang ingin diutarakannya. Oleh karenanya Martoloyo memberi nasehat. Namun bukan kebulatan yang dicapai, melainkan meruncingnya perselisihan diantara keduanya memicu perang tanding. Keduanya saling tikam dengan menggunakan pusaka keris sakti. Martoloyo mati karena tikaman keris Ki Kasur, sedang Martopro mati karena tikaman keris Ki Sepuh.
Geger kematian kedua adipati, tercium oleh Gendowor. Plekatik Martoloyo yang setia itu bergegas meninggalkan tempat dimana dia bekerja sebagai pencari rumput untuk kuda majikannya. Dengan sabit ditangan, perasaan gerah dan dongkol, dipacu kencang kuda tunggangannya menuju pendopo. Di sana dilihatnya rakyat Tegal berjubel-jubel. Gending lara tangis bertalu-talu. Begitu menyayat ulu hati.
Turun dari kuda, bergegas Gendowor berjakan menuju pendopo. Langkah Gendowor tergopoh-gopoh dan betapa terkejutnya ketika mendapatkan majikannya telah tewas di samping Adipati Martopuro dengan bercikan darah di mana-mana. Sebagian mengering, sebagiannya lagi bau anyir darah segar menyengat hidung.
Di sisi mayat majikannya, Gendowor bersimpuh. Ia berjanji akan menumpas semua Kompeni Belanda. Maka dipacu kuda tunggangannya memburu orang-orang Kompeni. Orang-orang Kompeni yang berpapasan dengannya ditebas batang lehernya. Puluhan kepala bergelimpangan dan darah berceceran. Tempat pemengalan kepala itu terjadi di pertigaan Gilitugel.
Peristiwa lain yang tak kalah tragisnya, juga terjadi di pertigaan jalan itu. Pada abad 18, sewaktu Mr Herman William Daendels membuat jalan raya sepanjang 1000 Km dari Anyer sampai Penarukan, banyak rakyat pribumi menjadi korban akibat kerja rodi, termasuk rakyat Tegal yang tanahnya dilalui proyek pembuatan jalan. Saat itu, Bupati Tegal yang dipimpin RM Tumenggung Panji Haji Cokronegoro setiap hari dibikin repot, karena harus menyediakan 1000 orang untuk kerja paksa. Oleh karenanya, ia sangat prihatin dan sedih. Tidak sedikit rakyat yang kurang patuh harus mendapat hukum pancung. Hampir setiap hari, Bupati Tegal menyaksikan peristiwa yang memedihkan itu. Tempat pelaksanaan hukuman pancung bagi yang menentang kerja rodi, terjadi di pertigaan jalan itu. Sejak itu, rakyat Tegal menamai jalan tersebut sebagai ‘Gilitugel’, asal-muasal dari kata ‘Gulu Tugel’. Dalam bahasa Jawa, ‘Gili’ artinya ‘jalan’. Sedang kata ‘Tugel’ artinya ‘Putus’.
Begitulah lahirnya pertigaan jalan yang disebutkan di atas. Oleh warga masyarakat, peristiwa itu disebut sebagai tragedi ‘Gilitugel’

Kamis, 13 Juni 2013

Legenda Paguyangan



Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kembali Gusti Sunan harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik kereta kencananya mendadak jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara ia lakukan untuk dapat mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji (yang dulu pernah menjadi spionase ayahandanya, Sultan Agung). Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan (yang berarti tempat singgah ; sanggrah).

Penamaan Ajibarang



Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keratin dengan mengambil route perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di Kadipaten Carbon atau Caruban atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara infanteri dengan medan yang berat dan sangat jauh.
Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta kencananya, kemudian berusaha m

Asal usul kota bumiayu



Oleh karenanya, penulis tidak mencantumkan kata “sejarah”, untuk menghindari adanya satu anggapan upaya pemelintiran kata “sejarah” (yang menurut para sesepuh dan tokoh, Bumiayu dan dan empat kecamatan lain disekitarnya, yakni ; Paguyangan, Bantarkawung, Sirampog dan Tonjong tidak memiliki hubungan historis dengan sejarah penamaan Brebes sebagai induk pemerintahannya).
Penulis sangat merasa berterimakasih jika ada diantara pembaca dapat memberikan informasi (terutama berkaitan erat dengan nama ; Balaikambang, Kedatuan, Linggapura, Pesanggarahan, Balapusuh, Rajawetan, Margasari, Balapulang, dan Slawi) yang masih belum dapat tercover dalam tulisan ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan, terutama bagi yang memiliki ikatan kultural dengan Kota Bumiayu dan sekitarnya.

ASAL USUL NAMA DESA TANGGUNGSARI KECAMATAN KETANGGUNGAN




        Dahulu kala, ada seorang bernama Nasirudin atau Nasirun yang berasal dari Gunungsari, Cikulak, Ciledug Jawa Barat. Nasirudin ini adalah seorang anak muda yang haus akan ilmu kesaktian. Berbagai tempat ia datangi. Asal disitu ia mendengar ada seorang bijak atau sakti maka ia pasti akan mendatanginya untuk berguru. Petualangan Nasirudin ini sampai membawanya ke wilayah Jawa Timur, tepatnya disekitar daerah Sunan Gresik. Kedatangan dia ke situ juga dengan maksud menimba ilmu.
      Hingga pada suatu hari, usai beberapa lama menimba ilmu di Gresik, Nasirudin memutuskan untuk pulang kerumah. Hingga suatu waktu, perjalanannya sampai di wilayah Desa Ketanggungan. Di tempat ini, Nasirudin memutuskan beristirahat. Pada saat itulah, Nasirudin yang dasarnya juga anak muda yang cukup ramah terlibat pembicaraan sengan warga sekitar. Dari situ, dia mendengar bahwa di sekitar desa Ketanggungan ini masih banyak wilayah yang masih liar dan kosong penghuninya.

Sejarah Kelahiran Brebes



Beberapa cerita rakyat tentang muncul/lahirnya beberapa nama desa-desa tertentu didalam wilayah Kabupaten Brebes memang ada. Misalnya nama desa Padasugih, Wangandalem, Gandasuli, Pasarbatang, Kersana, Ketanggungan dan sebagainya.  Namun itu semua hanya terlontar dari mulut ke mulut turun temurun. Tidak ada data pendukungnya untuk dijadikan bahan dalam penulisan sejarah lokal. Kalau saat ini sudah ada beberapa orang yang menyempatkan diri merekam cerita-cerita rakyat tersebut didalam bentuk tulisan, alhasil hanyalah merupakan rekaman belaka, yang tetapbelum menyandang bobot sebagai data penulisan sejarah. Sebuah kisah menarik mengenai lahirnya kota Brebes justru kita jumpai dalam Serat Kanda edisi Brandes.
Menurut kisah ini, setelah kerajaan Majapahit berdiri dan Raden Susuruh dinobatkan menjadi raja dari kerajaan yang baru itu dengan nama Brawijaya yang terjadi tahun 1221 Saka (tahun 1299 Masehi) dengan candra sangkala Sela-Mungal-Katon-Tunggal, sri baginda raja Brawijaya juga mengangkat Wirun menjadi pepatih dengan nama julukan Adipati Wirun,

Rabu, 05 Juni 2013

Filsafat Jawa, Ajaran Luhur Warisan Leluhur

Petis manis pupus tebu saupama, ~kepriye werdine . . .
Aja ngucap nora teges tanpa guna, ~kepriye karepmu . . .
Petis manis sarpa langking saupama, ~kepriye werdine . . .
Aja ngucap yen ta amung samudana
(Ki Narto Sabdo, Lagon "Petis Manis")

Sekarang ini, pencarian jati diri dalam kehidupan bermasyarakat sedang gencar-gencarnya.
Sudah banyak orang yang menyadari akan pentingnya kebudayaan tradisional, kebudayaan ini tetap dilacak untuk memahami jati diri bangsa sesungguhnya.

Aksara Jawa

Aksara Jawa, atau dikenal dengan nama Hanacaraka atau Carakan , adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawabahasa Makasar,bahasa Sunda, dan bahasa Sasak. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan abugida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Nama aksara ini dalam bahasa Jawa adalah Dentawiyanjana.

Pambuka




Alhamdulillah semoga blog ini bisa menjadikan upaya dan niat kami untuk nguri uri (menjaga) budaya dan bahasa Jawa lebih maksimal lagi.
Blog ini akan diisi dengan cuplikan keanekaragaman budaya Jawa. Mulai dari filsafatnya yang luhur, materi pembelajaran untuk SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA.
Kami menerima banyak kritikan dan saran.

Terima kasih.

TIM SINAU BUDAYA JAWA

Senin, 03 Juni 2013

Asal Mula Desa Panggung

DI BAWAH rerimbunan pohon kamboja, makam itu tampak menonjol dari kejauhan. Agaknya memang sengaja dibangun dalam kapasitas keistimewaan tersendiri, karena bentuknya seperti makam raja-raja Jawa. Lokasi makam itu juga diberi benteng tembok sebagai pembatas dari makam-makam lainnya. Itulah makam Sunan Panggung atau orang Tegal menyebutnya Mbah Panggung.
Makam Mbah Panggung terletak di wilayah Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Siapakah sebenarnya Mbah Panggung atau Sunan Panggung itu? Dia adalah sama orangnya dengan Sunan Drajat, salah seorang Walisanga. Putra dari Sunan Ngampel atau Raden Rachmat dari istri yang berasal dari Campa. Dia, termasuk pangeran terpandai diantara saudaranya. Ia tidak suka berdiam diri di dalam istana kerajaan dibanding dengan Sunang Bonang, saudaranya, yang lebih suka mendekam di istana. Sebaliknya Sunan Panggung justru lebih memilih jalan pengembaraan untuk memperdalam ilmu Agama Islam.

Kalipah


Tersebutlah orang sakti mandraguna Sutadirana. Lebih dikenal dengan panggilan Mbah Suta. Seorang pendatang yang tengah melakukan perjalanan spiritual dari arah Barat menuju ke Timur.

Dalam perjalanan, sampailah dia di lapangan Dwi Windhu Pangkah, Kabupaten Tegal. Di lokasi itu Mbah Suta melihat ada lubang mata air sebesar pipa di bawah pohon rindang dan berhawa lembab. Mbah Suta tertarik akan lokasi itu karena ada getaran tertentu. Di situ, akhirnya dia melakukan tapa.

Ternyata, tanpa disadari oleh Mbah Suta, lubang tersebut merupakan pintu keluar masuk singgasana Ratu Siluman Buaya Putih. Tak heran kalau lama ke lamaan hawa di dalam Kerajaan Siluman menjadi panas.“Bumi bawah tanah bagai terbakar. Panas, panas….” teriak para siluman bertelanjang dada sambil belarian.

“Ada apa ini? Matahari seperti tak bersinar, gelap dimana-mana. Angin tak berhembus, panas sedemikian rupa rasanya mau membakar seluruh isi istana”.

Di dalam kegerahan, mereka berlari saling bertabrakan. Satu sama lain ingin mengetahui asal penyebab masalah. Keriuhan dan kebisingan menghampar ke seluruh sudut-sudut istana. Di tempat pembaringan, Ratu Silumah Buaya Putih merasakan juga hal yang sama. Panas membakar dan kekisruhan anak buahnya mengganggu benar tidur siang Sang Ratu. Dengan marahnya, dia segera ke luar dari kamar. Di lihatnya para anak buah berkelojotan dan berlari-lari pontang-panting.

“Hai, hai! Kenapa kalian saling berlarian. Apa yang terjadi?!” teriak sang Ratu pada mereka. “Mohon ampun Kanjeng Ratu, apakah Kanjeng Ratu tidak merasakan hawa di dalam kejaraan ini demikian panas? Bumi rasanya seperti dikucur bara timah yang meleleh begitu deras,” kata salah satu dari mereka.

Sang Ratu tanggap sasmita. Ia segera mengheningkan cipta, mematikan rasa, pikir dan seluruh panca indra. Sesudah itu, ia menyuruh anak buahnya menyelidiki apa yang terjadi di luar kerajaan. Bagai anak panah yang melesat dari busurnya, seluruh anak buah berhaburan ke atas. Tapi berulangkali menembus atas bumi, mereka gagal. Bumi seakan dilapisi berton-ton baja tanpa mampu ditembus. Mereka akhirnya kembali menghadap Kanjeng Ratu. “Mohon ampun Kanjeng Ratu. Kami tak sanggup menembus lapisan bumi. Lapisan bumi serasa terlapisi baja dan tak dapat dilewati oleh kami,” ujar mereka.
Kanjeng Ratu terpaksa turun tangan. Dengan kekuatan yang dimiliki, ia menembus pori-pori bumi. Sampai di atas, dilihatnya Mbah Suta sedang duduk bersila dengan mata terpejam dan kedua tangan bersedekap.

Minggu, 02 Juni 2013

Keraton Pringgodani



Dongeng atau cerita yang hidup di plawangan  khususnya dan di kabupaten pemalang umumnya, tentang keraton pringgodani. Cerita ini didapat dari bapak karmin , 80 thn. Juru kunci candi plawangan.
Pada zaman dulu di plawangan ada kerajaan namanya pringgodani, yang di perintah oleh keluarga hari. Rja ini berwujud raksasa, dan mempunyai kebiasaan makan daging orang.
Raja pertama bernama prabu harimboko atau lebih dikenal tremboko.
Pada suatu hari, sang raje meminta giliran kepada salah satu penduduk yang menerima giliran untuk mengantar manusia. Karena susahnya, keluarga itu siang malam tidak dapat memutuskan siapa yang harus diserahkan, dirinya, istrinya atau anak tunggalnya. Malam selum gilirannya, di rumahnya menginap seorang pemuda yang mengaku bernama brotoseno yang karena mendengar kesusahan keluarga itu dan karena merasa sudah berhutang budi karena sudah bisa menginap, ia bersedia untuk menjadi pengganti keluarga itu.
Paginya brotoseno diantar ke hadapan sang raja yang kebetulan menghadap pula putrinya yang bernama dewi harimbi.
Putri itu tertarik kepada pemuda yang akan menjadi korban ayahnya itu dan memohon kepada ayahnya agar agr untuk kali ini pemuda itu jangan dijadiakan korban. Sayang sang prabu sudah sangat lapar, maka segala permohonan putrinya itu tidak dikabulkan.
Brotoseno segera akan dimakan, tetapi sang prabu terkejut, sebab kulit pemuda ini sangat keras seperti baja dan giginya tidak mampu melukai kulit brotoseno.
Akhirnya kemarahannya yang tak terkendalikan, terjadilah perkelahian antara prabu tremboko dengan brotoseno yang berakhir gugurnya prabu tremboko.
Sepeninggalan prabu tremboko, pringgodani di pimpin anak sulungnya yang bernama prabu harimbo.
Pada suatu hari, dewi harimbi sebagai adiknya harimbo, meminta izin untuk kawin dengan brotoseno, tetapi kakaknya menolak mentah-mentah dengan alasan bahwa brotoseno telah membunuh ayahandanya, jadi dia adalah musuh, bahkan dewi harimbi diusir.
Lalu prabu harimbo marah dan menantang berkelahi dengan brotoseno dan terjadilah perkelahian dengan seru. Dalam perkelahian itu prabu harimbo kalah dan mayatnya dilempar ke sungai. Karena rambutnya panjang menurut kepercayaan penduduk rambut itu sering terlihat di sunai itu dan sejak itu sungai terlihatnya rambut prabu harimbo disebut sungai rambut.
Sepeninggalan saudaranya, dewi harimbi yang menggantikan sebagai ratu, mempunyai keraton dua, yakni di barat sebagai keraton lama terletak di plawangan dan di timur di pinggir sungai comal.
Dari cerita diatas, penyusun dapat mengambil intisarinya. Lepas dari benar tidaknya dongeng rakyat plawangan, perlu dicatat bahwa:
1. Di plawangan ada kerajaan yang menurut dongeng rakyat setempat namanya kerajaan “pringgodani”. Sementara sumber cina menyebutkan kerajaan “holing” yang oleh sejarawan indonesia sering dinamakan dengan nama kalingga. Jadi, “pringgodani” identik dengan kalingga.
2.  Keluarga raja yang memerintah adalah keluarga ari(arimba). Sementar raja putri arimbi kalau dibandingkan sumber cina dan barat, mungkin sama dengan dewi sima yang menikah dengan keluarga kerjaan mataram yang pertama yaitu sanaka(samaha) yang oleh penduduk diartikan sena,yang oleh dongeng disamakan dengan brotoseno, yang sudah beragama hindu.
3.  Rajanya berwujud manusia raksasa, mungkin agamanya belum hindu (pemujaan nenek moyang). Dari catatan ini jelas bahwa kerajaan kalingga(pringgodani), namun versi rakyat sesuai kerajaan tarumanegara dan seraman awal mataram pertama (era raja sanaka ayah raja sanjaya). Tegasnya di plawangan patut diduga letak kerajaan hling atau kalingga yang oleh penduduk dinamakan kerajaan pringgodani.
Lepas dari benar tidaknya dongeng rakyat plawangan, ada suatu bukti yang tidak bisa disangkal, bahwa di derah plawangan telah ditemukan bukti-bukti arkeologi sebagai fakta historis, yang seakan-akan membenarkan dongeng rakyat plawangan.
Keraton sirawung atau si geseng
      Dongeng rakyat yang mengenai daerah ini banyak ragamnya yang pada hakekatnya dongeng-dongeng itu menganggap bahwa di hutan sirawung atau si geseng pada zaman dahulu adalah sebuah kerajaan.
Adapun inti-inti cerita itu sebagai berikut:
1.  Orang-orang plawangan mengatakan bahwa daerah sirawung dulu merupakan bagian dari pringgodani dan pernah menjadi tempat pelarian dewi harimbi yang diusir oleh kakaknya yang tidak setuju dia kawin dengan brotoseno.
2.    Menurut juru kunci candi si geseng, daerah itu disebut jamban dalem. Disebut sirawung karena rakyat keraton itu, yang berupa lelembut atau makhluk halus yang dapat bergaul(srawung) dengan manusia biasa. Bernama si geseng artinya si gelap, si hitam, sebab tempat itu tempat yang gelap bagi manusia biasa.
3.  Menurut oarng pemalang, kanjeng swargi atau kanjeng raden arya adipati reksoprojo yang wafat tahun 1825, yang tidak mau tunduk kepada VOC untuk menangkap pangeran diponegoro pernah menghilang atau mengungsi ke keraton sirawung. Demikian juga kanjeng raden tumenggung ronggo soero adi negoro yang wafat tahun 1862, pernah bertandang ke keraton sirawung.
      Pangeran Benawa juga masih hidup dan berkedaton di sirawung.
4. Bapak williem otto machenzie,dengan bersumpah mengatakan, bahwa beliau waktu rumahnya masih di gembol manis, yakni di hutan sirawung, tiap malam rombongan pemukul gamelan lewat di depan rumahnya dan anjing-anjing beliau tidak berani menyalak dan hanya duduk. Jadi ada suara tapi tidak ada rupa.
5.  Cerita para nahkoda kapal asing yang kapalnya kandas di pantai hutan sirawung, menerangkan bahwa pada umumnya mereka melihat sebuah pelabuhan. Juru kunci yang sudah berusia lebih dari 100 tahun pernah menyaksikan empat kali kapal kandas.
Bapak willem otto machenzie juga membenarkan bahwa kapal-kapal yang kandas, katanya sebab diwaktu malam melihat pelabuhan.
Kapal kandas yang terakhir adalah di tahun 1956, yakni kapal inggris yang memuat gambir dan tekstil.
Lepas dari benar tidaknya beberapa cerita rakyat di daerah pemalang tentang hal-hal yang ajaib di hutan sirawung, pada pokoknya ada persamaan motif, yakni bahwa di sirawung zaman dahulu ada sebuah kerajaan.
Kesimpulan:
a.   Di sirawung ada sebuah tempat yang disebut jamban dalem, nama kerajaan setempat tidak tahu.
b. Adanya pertemuan dan peninggalan historis yang ditemukan di daerah itu, mendekatlan “kebenaran” dongeng rakyat setempat dengan fakta historis.
Tempat gelap ini tetap gelap, nama si geseng cukup membuat rakyat setempat tidak berani sembarang menyebut, hingga tempat itu gelap.