Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kembali Gusti Sunan
harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik kereta kencananya mendadak
jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara ia lakukan untuk dapat
mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai
Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki
daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan
beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang
dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji
(yang dulu pernah menjadi spionase ayahandanya, Sultan Agung). Tempat tersebut
sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa
Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat
I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan (yang
berarti tempat singgah ; sanggrah).
Dari petunjuk yang dihasilkan dari laku tapa tersebut, Kyai
Pancurawis mendapatkan perintah supaya ia mengambil air yang berasal dari
sebuah sendang (danau) di lereng Gunung Slamet yang dihuni oleh makhluk air
jejaden (jejadian) jelmaan ponggawa Nyai Roro kidul. Segeralah Kyai Pancurawis
terhenyak dari laku semedinya, untuk kemudian mencari tempat yang dimaksud.
Cukup lama ia mencarinya, akhirnya ditemukanlah tempat yang ia tuju. Sebuah
sendang di tempat yang sangat sejuk yang sekarang dikenal oleh masyarakat
dengan sebutan TELAGA RANJENG, dengan jutaan ikan lele sebagai penghuninya.
Kyai Pancurawis menerima petunjuk, jika air yang berasal
dari sendang tersebut kemudian dapat disiramkan ke sekujur tubuh kuda penarik
kereta kencana Gusti Kanjeng Sunan Amangkurat I yang dalam kondisi sekarat.
Hasilnya ternyata sungguh mengejutkan, setelah sekujur tubuh kuda itu basah
terkena siraman air Telaga Ranjeng, secara berangsur-angsur namun dalam waktu
yang cukup singkat, kuda itu dapat pulih seperti sedia kala. Atas keberhasilan
usaha Sang Sais, Gusti Sunan berujar, “Tempat ini aku namakan PAGUYANGAN, dan
aku yakin kalau tempat ini tidak akan kekurangan air sampai kapanpun sebagai
sumber kehidupan masyarakatnya kelak.”
Di tengah kegembiraan sumringah wajah Gusti Sunan, terdengar
helaan berat nafas Kyai Pancurawis yang masih berfikir tentang adanya pantangan
bagi kuda kesayangannya itu. Dalam petunjuk yang ia terima, jika kuda itu telah
pulih, maka hal yang tidak boleh ia lakukan adalah menginjak bambu kering. Jika
pantangan itu terlanggar, maka tak ayal lagi kematian yang akan menimpa kuda
tersebut.
Tibalah di suatu tempat dimana kejadian yang tidak
diinginkan kembali terjadi. Dalam perjalanan berikutnya, secara tiba-tiba
kereta kencana terangkat ke atas sampai hampir menjatuhkan Sunan Amangkurat I.
Seekor ular besar tampak berada di depan kereta kencana. Sontak saja, kuda
penarik mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dengan tenang, Kyai Pancurawis
mencoba menenangkan gelisah dan ketakutan si kuda. Diambilnyalah sebuah bambu
kering yang digunakan untuk mengusir ular yang menghadangnya. Tampak si ular
tak kuasa menghadapi kekuatan batin Kyai Pancurawis, sehingga ia terpaksa harus
meninggalkan mangsanya. Kepergian ular itu membuat tenang perasaan seluruh
rombongan tak terkecuali Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya. Dibuangnyalah
bambu kuning pengusir ular tadi, namun tak disangka dan tak dinyana, Kyai
Pancurawis tak menyadari jika kudanya menginjak bambu kuning yang ia buang di
hadapan kereta kencana Gusti Sunan sehingga mengeluarkan bunyi “kre..tek !”.
(tempat tersebut kemudian dinamakan Desa KRETEK).
Suara angin menderu dan membahana seolah memecah
keheningan rombongan Sunan Amangkurat
I. Ia dan rombongannya merasa seolah-olah ada yang
sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Lari secepat kilat adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu, sehingga tempat berlarinya
rombongan tersebut oleh masyarakat
sekarang dikenal dengan nama PAGOJENGAN, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar