Kalipah
Tersebutlah orang sakti
mandraguna Sutadirana. Lebih dikenal dengan panggilan Mbah Suta. Seorang
pendatang yang tengah melakukan perjalanan spiritual dari arah Barat menuju ke
Timur.
Dalam perjalanan, sampailah dia
di lapangan Dwi Windhu Pangkah, Kabupaten Tegal. Di lokasi itu Mbah Suta
melihat ada lubang mata air sebesar pipa di bawah pohon rindang dan berhawa
lembab. Mbah Suta tertarik akan lokasi itu karena ada getaran tertentu. Di
situ, akhirnya dia melakukan tapa.
Ternyata, tanpa disadari oleh Mbah Suta,
lubang tersebut merupakan pintu keluar masuk singgasana Ratu Siluman Buaya
Putih. Tak heran kalau lama ke lamaan hawa di dalam Kerajaan Siluman menjadi
panas.“Bumi bawah tanah bagai terbakar. Panas, panas….” teriak para siluman
bertelanjang dada sambil belarian.
“Ada apa ini? Matahari seperti tak bersinar,
gelap dimana-mana. Angin tak berhembus, panas sedemikian rupa rasanya mau
membakar seluruh isi istana”.
Di dalam kegerahan, mereka berlari saling
bertabrakan. Satu sama lain ingin mengetahui asal penyebab masalah. Keriuhan
dan kebisingan menghampar ke seluruh sudut-sudut istana. Di tempat
pembaringan, Ratu Silumah Buaya Putih merasakan juga hal yang sama. Panas
membakar dan kekisruhan anak buahnya mengganggu benar tidur siang Sang Ratu.
Dengan marahnya, dia segera ke luar dari kamar. Di lihatnya para anak buah
berkelojotan dan berlari-lari pontang-panting.
“Hai, hai! Kenapa kalian saling berlarian.
Apa yang terjadi?!” teriak sang Ratu pada mereka. “Mohon ampun
Kanjeng Ratu, apakah Kanjeng Ratu tidak merasakan hawa di dalam kejaraan ini
demikian panas? Bumi rasanya seperti dikucur bara timah yang meleleh begitu
deras,” kata salah satu dari mereka.
Sang Ratu tanggap sasmita. Ia segera
mengheningkan cipta, mematikan rasa, pikir dan seluruh panca indra. Sesudah
itu, ia menyuruh anak buahnya menyelidiki apa yang terjadi di luar kerajaan.
Bagai anak panah yang melesat dari busurnya, seluruh anak buah berhaburan ke
atas. Tapi berulangkali menembus atas bumi, mereka gagal. Bumi seakan dilapisi
berton-ton baja tanpa mampu ditembus. Mereka akhirnya kembali menghadap Kanjeng
Ratu. “Mohon ampun Kanjeng Ratu. Kami tak sanggup menembus
lapisan bumi. Lapisan bumi serasa terlapisi baja dan tak dapat dilewati oleh
kami,” ujar mereka.
Kanjeng Ratu terpaksa turun tangan. Dengan kekuatan yang dimiliki, ia menembus
pori-pori bumi. Sampai di atas, dilihatnya Mbah Suta sedang duduk bersila
dengan mata terpejam dan kedua tangan bersedekap.
“Hai manusia! Kenapa kau berani melakukan
tetapamu di atas lubang air ini? Tidakah kamu tahu kalau lubang itu
satu-satunya pintu ke luar masuknya istana kami?! Hentikan tapamu dan segera
menyingkir dari tempat ini sebelum kemarahanku memuncak!” Tapi teriakan Kanjeng Ratu Siluman Buaya Putih itu tak mampu mengusik
tapa Mbah Suta. Dia tak pedulikan, tetap saja melakukan tiwikrowo. Yang
demikian itu membuat sang Ratu semakin tak bisa meredam amarah. Kejengkelan
membuncah, ia menghantam Mbah Suta dengan ekornya. Tidak hanya itu, Kanjeng
Ratu pun menyerang dan menerjang dengan kuku-kuku tajam kaki dan tangannya.
Tapi dengan mudah serangan itu dihalau Mbah Suta. Pertempuran
sengit terus berlangsung. Bumi seakan menggemuruh menimbulkan gonjangan dasyat.
Tak terkecuali dalam istana Siluman Buaya Putih, seluruh penghuninya
terbanting-banting dan berkelojotan dengan hawa panas yang semakin meranggas.
Tanah dan rumah-rumah di dalam Istana Siluman retak. Tak sedikit runtuh karena
goncangan yang disebabkan dari pertempuran mereka.
Selama pertempuran, tak sejengkal pun posisi
Mbah Suta berubah. Ia tetap pada posisi sikap bersilah. Hanya berulangkali
kedua tangan mengibas untuk menghalau sepak terjang Kanjeng Ratu. Berkali-kali sekor siluman Buaya Putih menyerang Mbah Suta. Tapi kembali
dihalau bahkan berkali pula sang Ratu terpelanting dan jatuh terjerebab di atas
bumi karena serangan Aji Pupuh Banyu dari Mbah Suta. Kesaktian apa saja yang
dikeluarkan Kanjeng Ratu, tak sanggup melumpuhkan kesaktian Mbah Sutah.
Kesaktian Mbah Suta sedemikian tak tertandingi, hingga bersujudlah Kanjeng Ratu
Siluman Buaya Putih.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Kanjeng Ratu pun akhirnya mengikuti apa
maunya perintah Mbah Suta. Dalam satu perbincangan, Mbah Suta bertutur.
“Ni Mas Kanjeng Ratu, kelak apabila ada seorang lelaki mawujud buaya berhasrat
meminangmu, mintalah bebondo atau mas kawin bangkai manusia. Kalau benar-benar
bebondo itu mawujud bangkai manusia, hendaklah Ni Mas tolak. Sebab artinya ia
bukan datang melamar dengan ketulusan hati, melainkan hanya karena kemolekan
tubuhmu….” Kecantikan Kanjeng Ratu Siluman Buaya Putih itu,
siapapun tak bakalan mengingkarinya. Orang akan kesengsem tiap kali dia berubah
ujud menjadi seorang putri. Kemulusan tubuh dan kecantikan wajahnya sang Ratu,
senantiasa membius siapapun. Tak mengherankan kalau banyak lawan jenis
tergila-gila ingin mempersunting.
Suatu hari, datanglah seorang pemuda ganteng
dari Pekalongan. Dengan berkendaraan kereta kencana, pemuda itu menghadap
Kanjeng Ratu di singgasana. Pemuda itu membawa bebondo berupa bangkai manusia.
Lamaran pun ditolak dan terjadi kericuhan. Mereka bertanding adu kesaktian.
Keduanya menjelma menjadi Siluman Buaya Putih. Adu kesaktian
antar kedua siluman itu berlangsung sengit. Akhir dari pertikaian, Siluman
Buaya Putih asal Pekalongan kewalahan dan melarikan diri hingga ke Pelawangan
-perbatasan Kabupaten Tegal dan Pemalang.
“Baiklah Sang Ratu, saat ini aku mengaku
kalah. Tapi nanti pada masa yang akan datang, anak cucu keturunganmu bakal
menjadi tumbal balas dendamku ketika mandi di Kaliloji Pekalongan…” katanya
sebelum berlalu.
Seperti halnya dia, Kanjeng Ratu Siluman
Buaya Putih pun balik bersumpah, barangsiapa anak cucu dia mandi di Kalipah,
bakal juga mengalami hal yang serupa. Sebab di Kalipah yang berada di jalur
pantura wilayah Desa Padaharja Kecamatan Kramat itu, merupakan sungai angker
yang airnya berasal dari lubang mata air sebesar pipa yang ada di lapangan Dwi
Windhu Pangkah itu.
Konon kabarnya, pada malam-malam tertentu di
jembatan Kalipah itu sering muncul wanita jadi-jadian. Sebagian orang percaya
bahwa wanita tersebut merupakan jelamaan dari Siluman Buaya Putih
Kalipah sendiri asal muasalnya dari sumber
mata air sebesar ‘pipa’. Dari aliran itu kemudian membentuk sebuah sungai kecil
yang lama ke lamaan membesar hingga ke laut. Dari sanalah muncul nama
‘Kalipah’, gabungan dari kata ‘pipa’ dan ‘kali’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar