Jumat, 21 Juni 2013

Mitos dan Legenda Nyai Rantansari, bumiayu



Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.

Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya.[5] Walhasil dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat ia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMIAYU.
Di Bumiayu inilah Sunan Amangkurat kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.
Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.
Cukup lama Sunan Amangkurat I berada di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Singkat cerita, sampailah ia berada di suatu tempat bernama Adiwerna. Dengan bekal ketakwaan dan silsilah darah birunya, membuatnya menjadi panutan masyarakat sehingga ia mendapatkan gelar SUNAN TEGAL ARUM atau SUNAN TEGALWANGI. Ia dimakamkan di Pesarean Lemah Duwur Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Konon, makamnya pada hari-hari tertentu mengeluarkan bau harum, karenanya ia mendapatkan gelar Tegal Arum. Pemakamannya selalu ramai dikunjungi para peziarah, khususnya setiap malam Selasa atau Jum’at Kliwon, terlebih pada malam 1 Suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun baru Islam. Para peziarah dating dari berbagai penjuru memadati ruas-ruas jalan Slawi-Tegal tentunya dengan berbagai macam tujuan. Namun sangat penulis sesalkan, bahwa tulisan cerita ini belum lengkap versinya. Belum ada informasi yang cukup meyakinkan penulis untuk dapat dimuat dalam sebuah cerita legenda, terutama tentang penamaan Dukuh Balaikambang, Kedatuan, Pesanggrahan, Desa Linggapura, Balapusuh, Rajawetan sampai dengan Adiwerna Kabupaten Tegal.
Wallahu a’lam bishawab.
1)      Sultan Agung pernah dua kali mencoba melakukan serangan ke Batavia, yaitu pada tahun 1627 dibawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Suro Agul-agul. Tahun 1629 dibawah pimpinan Kyai Ageng Juminah, Kyai Ageng Purbaya dan Kyai Ageng Puger, Kedua penyerangan tersebut tidak berhasil menembus benteng pertahanan VOC di Batavia. Prajurit Mataram telah kehabisan tenaga akibat kurangnya perbekalan, karena dibakar pengkhianat. Kegagalan itu sebenarnya sudah dapat dirasakan oleh Senopati Linduaji yang bertugas sebagai spionase, yang menyatakan terdapat indikasi penyusupan dan pengkhianatan oleh masyarakat yang ditugasi menjaga lumbung padi untuk perbekalan prajurit Mataram yang ditempatkan di daerah perbatasan (Jawa Tengah – Jawa Barat).
 Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng. Wallahu a’alam.
Konon menurut cerita, Desa Daha ini leluhur dan pendirinya adalah berasal dari Kerajaan Daha, Kediri Jawa Timur. Sekarang desa tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.

1 komentar: