Sunan
Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan
rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat
membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama
“DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana
yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan
main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah
menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas
seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu
di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan
rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang
mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat
sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat
keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah
SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.
Begitu
mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta
izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati
mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya.[5] Walhasil
dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan,
maka Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang
sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati
kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat ia memandang
sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke
angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara
lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam
sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di
Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak
kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama
BUMIAYU.
Di
Bumiayu inilah Sunan Amangkurat kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita
yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat
ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan
matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu
masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara
tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan
diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara
bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari
menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat
(yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang
dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.
Sosok
wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut
Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama
alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari
yang memiliki kecantikan tiada tanding.
Cukup
lama Sunan Amangkurat I berada di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Singkat
cerita, sampailah ia berada di suatu tempat bernama Adiwerna. Dengan bekal
ketakwaan dan silsilah darah birunya, membuatnya menjadi panutan masyarakat
sehingga ia mendapatkan gelar SUNAN TEGAL ARUM atau SUNAN TEGALWANGI. Ia
dimakamkan di Pesarean Lemah Duwur Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Konon,
makamnya pada hari-hari tertentu mengeluarkan bau harum, karenanya ia
mendapatkan gelar Tegal Arum. Pemakamannya selalu ramai dikunjungi para
peziarah, khususnya setiap malam Selasa atau Jum’at Kliwon, terlebih pada malam
1 Suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun baru Islam. Para peziarah dating
dari berbagai penjuru memadati ruas-ruas jalan Slawi-Tegal tentunya dengan
berbagai macam tujuan. Namun sangat penulis sesalkan, bahwa tulisan cerita ini belum
lengkap versinya. Belum ada informasi yang cukup meyakinkan penulis untuk dapat
dimuat dalam sebuah cerita legenda, terutama tentang penamaan Dukuh
Balaikambang, Kedatuan, Pesanggrahan, Desa Linggapura, Balapusuh, Rajawetan
sampai dengan Adiwerna Kabupaten Tegal.
Wallahu
a’lam bishawab.
1) Sultan Agung pernah dua kali mencoba
melakukan serangan ke Batavia, yaitu pada tahun 1627 dibawah pimpinan
Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Suro Agul-agul. Tahun 1629 dibawah pimpinan
Kyai Ageng Juminah, Kyai Ageng Purbaya dan Kyai Ageng Puger, Kedua penyerangan
tersebut tidak berhasil menembus benteng pertahanan VOC di Batavia. Prajurit
Mataram telah kehabisan tenaga akibat kurangnya perbekalan, karena dibakar
pengkhianat. Kegagalan itu sebenarnya sudah dapat dirasakan oleh Senopati
Linduaji yang bertugas sebagai spionase, yang menyatakan terdapat indikasi
penyusupan dan pengkhianatan oleh masyarakat yang ditugasi menjaga lumbung padi
untuk perbekalan prajurit Mataram yang ditempatkan di daerah perbatasan (Jawa
Tengah – Jawa Barat).
Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng. Wallahu a’alam.
Konon menurut cerita, Desa Daha ini leluhur dan
pendirinya adalah berasal dari Kerajaan Daha, Kediri Jawa Timur. Sekarang desa
tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa
tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang
dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai
Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.
Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng. Wallahu a’alam.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus