Candi Mendut merupakan candi yang
terletak paling timur dari garis lurus tiga serangkai candi (Borobudur, Pawon,
Mendut). Candi ini didirikan oleh dinasti Syailendra pada masa pemerintahan
Raja Indra dan berlatar berlakang agama Budha, dimana hal ini ditunjukkan
dengan adanya bentuk stupa sebanyak 48 buah pada bagian atasnya.Tidak diketahui
secara pasti kapan candi ini didirikan. Namun seorang arkeologi Belanda J.G. de Casparis,
menyebutkan bahwa didalam prasasti yang ditemukan didesa karangtengah bertarikh
824M dikemukakan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama venunava
yang artinya adalah hutan bambu. Jika hal ini benar maka bisa dipastikan Candi
Mendut didirikan pada abad ke 8 Masehi.
Bahan bangunan candi sebenarnya
adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada
sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh.
Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement
terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan
dihiasi dengan stupa-stupa
kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah. Tinggi
bangunan adalah 26,4 meter.
Hiasan pada
candi Mendut
Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit
Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani.Hiasan yang terdapat pada candi Mendut
berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk
kahyangan berupa dewata
gandarwa
dan apsara
atau bidadari,
dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief
cerita Pancatantra
dan jataka.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya,
Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat
relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat
dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.
Buddha dalam
posisi dharmacakramudra.
Di dalam induk candi terdapat arca
Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana
dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha
terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di
sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca
Wajrapāņi. Sekarang di depan arca Buddha diletakkan hio-hio dan
keranjang untuk menyumbang. Para pengunjung bisa menyulut sebuah hio dan berdoa
di sini.
Kronologi
penemuan
- 1836 – Ditemukan dan dibersihkan
- 1897 – 1904 kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
- 1908 – Diperbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun kembali.
- 1925 – sejumlah stupa disusun kembali.
Relief-relief
Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief
akan disajikan.
·
Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)
Brahmana dan seekor kepiting.
Pada
relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari
Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:
Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia
bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.Maka
berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor
kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka
kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun
berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu
dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya.
Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan
nikmat, hatinya nyaman. Adalah
seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang
brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke
mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.” Si gagak melihat
sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku
ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka. Si kepiting
yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati:
“Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.”
Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia
ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan
dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan
kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang
brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.”
Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan
leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya
langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.
·
Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
Angsa dan kura-kura
Pada
relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari
Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita
yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:
Ada kura-kura bertempat tinggal di danau
Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada
putih, merah dan (tunjung) biru. Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau
Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si
Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu
bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati. Maka sudah lamalah bersahabat
dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si
betina. Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati
semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu
berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:
“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini,
sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak
kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini,
mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat
murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun.
Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun
menjawab, katanya: “Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda,
sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri. Bukankah
(keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda
pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami
dengan kalian. Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini
ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan
sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya]
janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita
atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga.
Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan,
jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami
tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka
demikianlah kata angsa. Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si
kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki
bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga
Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka,
sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang
bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama
si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang,
keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku,
lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa
sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak
kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi
tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah
adanya!” Begitulah kata si anjing jantan. Terdengarlah kata-kata anjing
itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap
tahi kerbau kering, sarang karu-karu. Maka mengangalah mulut si
kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh
serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka
melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.
·
Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
Dharmabuddhi dan Dustabuddhi
Cerita
ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi
menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua
menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan
uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi
tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi
dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan
dihukum.
·
Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)
Dua burung betet yang berbeda.
Relief
ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya
karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh
seorang pendeta.
Vihara Buddha
Mendut
Arca Buddha sumbangan Jepang.
Persis
di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara
Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an.
Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya
dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan
beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.
Di sebelah kanan pintu masuk ke
bilik candi (sisi utara), ada sebuah relief Kuvera. Relief ini menggambarkan
dewa Kuwera, Dewa Kekayaan. Penggambarannya, ada seorang lelaki yang yang duduk
dikelilingi anak-anak. Di bawahnya ada kendi-kendi yang penuh dengan uang.
Konon, Kuvera pada mulanya adalah raksasa bengis pemakan manusia. Tetapi
setelah bertemu dengan sang Budha dan diberi ajaran moral dan budi pekerti
luhur, dia bertobat dan berubah perangai menjadi pelindung anak-anak. Di sisi kiri (sisi selatan) pintu masuk ke bilik candi, terpahatkan relief Hariti yang duduk memangku anak. Di sekeliling Hariti ada banyak anak sedang bermain. Seperti Kuvera, awal mulanya Hariti juga raseksi pemakan manusia, dan setelah sadar dan bertobat berubah menjadi pelindung anak-anak setelah berjumpa dan diberi ajaran kebaikan oleh sang Budha. Bahkan Hariti juga dikenal sebagai Dewi Kesuburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar