Konon
kabarnya pada zaman Kerajaan Pajajaran, di pantai selatan Pulau Jawa,
terdapatlah sebuah desa bernama Harjobinangun. Adapunsekarang berada di daerah
Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo disanalah diam seorang laki-laki bernama
Awu-Awu Langit. Oleh sementara orang itu berasal dari kata: awu-awu berarti
golek, laip=luwe. Untuk jelasnya, awu-awu langit berasal dari kata majemuk
“awu-awulaip”, berarti:mencari dalam keadaan luwe (lapar). Sedang yang
dicarinya adalah saudara dan teman sepelariannya, menurut dugaan, Awu-awulangit
berasal dari pajajaran. Sejak kecil Awu-Awulangit ini sudah kelihatan
sifat-sifat kepemimpinannya dan keprajuritannya. Maka bukanlah suatu
kemustahilan, bahwa suatu ketika ia mengabdi kepada seorang kyai yang tersohor
didaerah itu bernama Aburawi.
Oleh
Kyai Aburawi diberi pelajaran ilmu kebatinan serta ulah kanuragan. Pada suatu
hari kebetulan malam itu Jum’at Kliwon dari tetangga Ki Awu-Awulangit itu ada
yang mempunyai hajad dan kebiasaan didesa itu disertai dengan malam tirakatan.
Semua alat keperluan untuk selamatan pada malam itu telah tersedia, tidak
ketinggalan pula ayam yang akan disembelihnya. Oleh siempunya untuk hajadan
telah disediakan tiga ekor ayam jantan. Banyak tetangga yang diundang pada
malam tirakatan itu, tidak ketinggalan Ki Awu-Awulangit. Kira-kira dini hari
berkatalah satu diantara ketiga ekor ayam itu. Demikian ujarnya: “Barang siapa yang mau menolong dia dari
segala keruwetan yang dihadapinya dan akan kubantu pula dalam segala usaha
untuk mencapai cita-citanya.”
Mendengar
bisikan yang demikian itu, sangat terkejutlah Ki Awu-Awulangit dan dicarinya
arah suara tadi. Setelah jelas sumber suara itu berasal dari ayam klawu bendha,
akhirnya diamlah sejenak untuk merenungkan apakah yang bakal diperbuatnya.
Kiranya tidak ada jalan lain yang harus ditempuhnya, kecuali menukar ayam itu
dengan ayam lain sebagai gantinya. Keinginan yang menyala-nyala itu segera
disampaikan kepada pemiliknya lalu katanya;”
Bolehkah salah satu diantara ketiga ayam yang akan adik sembelih kutukar dengan
ayam lain? Dengan penuh harap dan tanda tanya dijawabnya, “Boleh”, mendengar jawaban yang
demikian sangat giranglah Ki Awu-Awulangit. Maka keesokan harinya, ayam
pilihannya itu ditukarnya dengan ayam lain yang jauh lebih besar. Mulai saat
itu timbul hasrat untuk mencobanya. Memang tidak keliru, setiap saat dicobanya
setiap kali pula kemenangan dipihaknya. Kegemaran mengadu ayam ini kian hari
kian bertambah besar. Banyak pengunjung dari luar daerah berdatangan kerumah Ki
Awu-Awulangit untuk mengadu ayamnya. Tetapi, setiap kali pertarungan, setiap
kali itu kekalahan dipundak lawan. Meskipun mereka begitu tidak akan tetap
tinggal diam karena ayamnya yang selalu terkalahkan, tetapi bahkan sebaliknya,
mereka selalu berusaha kapan mereka akan memperoleh kemenangan.
Berita
ini tersiar kemana-mana, akhirnya terdengar pula oleh Sri Baginda Walangjaplak
(menurut dugaan beliau adalah seorang Raja di Jawa Tengah). Kegemaran Beliau
disamping mengadu ayam, juga dalam bentuk pengaduan yang lain seperti; orang,
singa, dan sebagainya. Sudah barang tentu mendengar sesudah mendengar berita
keampuhan ayam Ki Awu-Awulangit, sudah tidak sabar lagi menanti waktu untuk
mencobanya. Pada suatu hari Sri Baginda dengan beberapa orang pengawal
berangkat menuju rumah Ki Awu-Awulangit. Setelah sampai disana kedapatan ayam
Ki Awu-Awulangit sedang berjemur diri (dhidhis=bhs jawa). Diatas Awu (Abu).
Karenanya tempat itu diberi nama “Jethis Awuawu”. Sekarang kedua ayam itu
diadunya. Akhir pertandingan kalahlah ayam Sri Baginda. Oleh Baginda dicari
ayam lain.
Pada
waktu akan diadu ayam Ki Awu-Awulangit sedang pergi jauh dari rumah. Meskipun
dengan rasa kecewa dan sekalipun entah dimana ayam itu berada. Maksud hati
harus ditemukan. Berserakan mencari, tetapi akhirnya ketemu juga dengan jalan
dikalangnya (dikepung) akhirnya ayam terpeganglah. Ditempat terpegangnya ayam
itu diberi nama “Kalangan”. Dusun ini berada didaerah Kawedanan Purwodadi
Kabupaten Purworejo. Pertarungan kedua dimulai lagi. Pada pertarungan ini
terpaksa masih kalah lagi, namun masih juga dicarinya akal untuk memperoleh
kemenangan. Dari salah seorang abdi baginda menyarankan agar ular berbisa
peliharaannya untuk diciptanya menjadi ayam. Gagasan yang demikian itu diterima
baik oleh Sri Baginda, dan diperintahkan untuk segera dilaksanakan. Pertarungan
yang ketiga kalinya terjadi perhatian dari para penonton makin bertambah besar,
lebih-lebih bagi mereka yang pernah dikalahkan, makin besar dorongan mereka
untuk memperoleh kemenangan siapapun pemilik ayam ini asalkan dari teman
sepihaknya. Tepuk, sorak dan cemooh silih berganti. Kedua ayam memperlihatkan
sama-sama kuat dan sama-sama bertahan. Kemenangan yang dinanti-nanti tidak
kunjung datang. Bahkan sebaliknya kekalahan memang masih harus menimpanya.
Sri
Baginda makin bertambah murka. Dicari akal dan daya uraya. Atas pendapat dari
abdi raja yang lain, diciptanya seekor singa gembong menjadi ayam wido kembang
gedhang. Rupa-rupanya pertandingan kali ini merupakan babak terakhir sebagai
penentu siapa yang kalah dan menang. Dari kedua belah pihak penuh dengan rasa
prihatin. Demikian juga dikalangan para penonton. Kira-kira pukul 13.00
pertandingan yang keempat kalinya dimulai. Satu sama lain menunjukkan
ketangkasan dan keuletannya. Berjam-jam perlawanan sengit berlangsung. Namun
belum ada tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan ini. Melihat
kejadian yang demikian, tak sabar rupanya hati Ki Awu-Awulangit untuk
menantinya. Kemudian ujarnya; “ Tinggal
kali ini kau bertanding, maka bila tenagamu masih mampu, usahakanlah kemenangan
dipihakmu, tetapi apabila tidak, apa hendak dikata kalau kekalahan harus kami
derita. “
Mendengar
demikian, Si Klawu Bendha seakan-akan mendapat cambuk dan segera mangakhiri
tugasnya. Rasa lelah serta rasa sakit sudah tidak dirasakan. Dengan kekuatan
yang masih ada padanya, dikerahkan seluruhnya. Kurang lebih pukul 18.00
berakhirlah pertarungan itu dan dan kemenangan dapat digondolnya. Rombongan Sri
Baginda pulang dengan loyo, cemas, dan malu tanpa membawa hasil. Sebaliknya
pendukung Ki Awu-Awulangit merasa sangat lega dan senang dengan sorak-sorai
penuh kegembiraan.
Tetapi
Ki Awu-Awulangit sendiri agak kebingungan, karena selesai pertarungan ayam Ki
Awu-Awulangit terus lari yang tidak jelas arahnya, dikejarlah ayam itu dengan
sekuat tenaganya, tidak lama diantaranya, berjumpalah dengan segerombolan orang
yang sedang duduk-duduk dibawah pohon yang rimbun daunnya untuk melepaskan
lelah. Ditanya orang-orang itu: “
tahukah kalian seekor ayam klawu bendha yang lari kemari? Sahut mereka
dengan terkejut. “Tidak, pak! kami tidak
tahu.” Mendengar jawaban itu cemaslah Ki Awu-Awulangit. Kemudian jawaban
yang lain “ kami tadi melihat pak,
tetapi entah kemana sekarang ia pergi.”
Dengan
jawaban yang simpang siur ini, kelak tempat ini aku beri nama “Puncu”. Nama ini
diambil dari kata “Pating Plencu.” Sedang letak sekarang terletak didesa
Harjobinangun Kecamatan Grabag di pesisir selatan. Harapan sudah menipis tetapi
masih juga dicarinya. Sambil menoleh kekanan dan kekiri, mengincar-incar
disela-sela semak, tiba-tiba ada seorang perempuan tua tidak jauh dari tempat
itu lewatdengan cepatnya.
Ditanyanya perempuan itu, tetapi sepatah katapun
tidak menjawabnya. Disangkanya seorang sedang menjadi penyamun menanti-nanti
mangsanya. Melihat kejadian yang demikian itu kemudian tempat itu diberi nama
“Sidan.” Dengan rasa hampa pulanglah Ki Awu-Awulangit dan mulai saat itu
berakhirlah kegemarannya menyabung ayam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar