Rabu, 24 Juli 2013

AYAM KLAWU BENDHA



Konon kabarnya pada zaman Kerajaan Pajajaran, di pantai selatan Pulau Jawa, terdapatlah sebuah desa bernama Harjobinangun. Adapunsekarang berada di daerah Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo disanalah diam seorang laki-laki bernama Awu-Awu Langit. Oleh sementara orang itu berasal dari kata: awu-awu berarti golek, laip=luwe. Untuk jelasnya, awu-awu langit berasal dari kata majemuk “awu-awulaip”, berarti:mencari dalam keadaan luwe (lapar). Sedang yang dicarinya adalah saudara dan teman sepelariannya, menurut dugaan, Awu-awulangit berasal dari pajajaran. Sejak kecil Awu-Awulangit ini sudah kelihatan sifat-sifat kepemimpinannya dan keprajuritannya. Maka bukanlah suatu kemustahilan, bahwa suatu ketika ia mengabdi kepada seorang kyai yang tersohor didaerah itu bernama Aburawi.

Oleh Kyai Aburawi diberi pelajaran ilmu kebatinan serta ulah kanuragan. Pada suatu hari kebetulan malam itu Jum’at Kliwon dari tetangga Ki Awu-Awulangit itu ada yang mempunyai hajad dan kebiasaan didesa itu disertai dengan malam tirakatan. Semua alat keperluan untuk selamatan pada malam itu telah tersedia, tidak ketinggalan pula ayam yang akan disembelihnya. Oleh siempunya untuk hajadan telah disediakan tiga ekor ayam jantan. Banyak tetangga yang diundang pada malam tirakatan itu, tidak ketinggalan Ki Awu-Awulangit. Kira-kira dini hari berkatalah satu diantara ketiga ekor ayam itu. Demikian ujarnya: “Barang siapa yang mau menolong dia dari segala keruwetan yang dihadapinya dan akan kubantu pula dalam segala usaha untuk mencapai cita-citanya.”
Mendengar bisikan yang demikian itu, sangat terkejutlah Ki Awu-Awulangit dan dicarinya arah suara tadi. Setelah jelas sumber suara itu berasal dari ayam klawu bendha, akhirnya diamlah sejenak untuk merenungkan apakah yang bakal diperbuatnya. Kiranya tidak ada jalan lain yang harus ditempuhnya, kecuali menukar ayam itu dengan ayam lain sebagai gantinya. Keinginan yang menyala-nyala itu segera disampaikan kepada pemiliknya lalu katanya;” Bolehkah salah satu diantara ketiga ayam yang akan adik sembelih kutukar dengan ayam lain? Dengan penuh harap dan tanda tanya dijawabnya, “Boleh”, mendengar jawaban yang demikian sangat giranglah Ki Awu-Awulangit. Maka keesokan harinya, ayam pilihannya itu ditukarnya dengan ayam lain yang jauh lebih besar. Mulai saat itu timbul hasrat untuk mencobanya. Memang tidak keliru, setiap saat dicobanya setiap kali pula kemenangan dipihaknya. Kegemaran mengadu ayam ini kian hari kian bertambah besar. Banyak pengunjung dari luar daerah berdatangan kerumah Ki Awu-Awulangit untuk mengadu ayamnya. Tetapi, setiap kali pertarungan, setiap kali itu kekalahan dipundak lawan. Meskipun mereka begitu tidak akan tetap tinggal diam karena ayamnya yang selalu terkalahkan, tetapi bahkan sebaliknya, mereka selalu berusaha kapan mereka akan memperoleh kemenangan.
Berita ini tersiar kemana-mana, akhirnya terdengar pula oleh Sri Baginda Walangjaplak (menurut dugaan beliau adalah seorang Raja di Jawa Tengah). Kegemaran Beliau disamping mengadu ayam, juga dalam bentuk pengaduan yang lain seperti; orang, singa, dan sebagainya. Sudah barang tentu mendengar sesudah mendengar berita keampuhan ayam Ki Awu-Awulangit, sudah tidak sabar lagi menanti waktu untuk mencobanya. Pada suatu hari Sri Baginda dengan beberapa orang pengawal berangkat menuju rumah Ki Awu-Awulangit. Setelah sampai disana kedapatan ayam Ki Awu-Awulangit sedang berjemur diri (dhidhis=bhs jawa). Diatas Awu (Abu). Karenanya tempat itu diberi nama “Jethis Awuawu”. Sekarang kedua ayam itu diadunya. Akhir pertandingan kalahlah ayam Sri Baginda. Oleh Baginda dicari ayam lain.
Pada waktu akan diadu ayam Ki Awu-Awulangit sedang pergi jauh dari rumah. Meskipun dengan rasa kecewa dan sekalipun entah dimana ayam itu berada. Maksud hati harus ditemukan. Berserakan mencari, tetapi akhirnya ketemu juga dengan jalan dikalangnya (dikepung) akhirnya ayam terpeganglah. Ditempat terpegangnya ayam itu diberi nama “Kalangan”. Dusun ini berada didaerah Kawedanan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Pertarungan kedua dimulai lagi. Pada pertarungan ini terpaksa masih kalah lagi, namun masih juga dicarinya akal untuk memperoleh kemenangan. Dari salah seorang abdi baginda menyarankan agar ular berbisa peliharaannya untuk diciptanya menjadi ayam. Gagasan yang demikian itu diterima baik oleh Sri Baginda, dan diperintahkan untuk segera dilaksanakan. Pertarungan yang ketiga kalinya terjadi perhatian dari para penonton makin bertambah besar, lebih-lebih bagi mereka yang pernah dikalahkan, makin besar dorongan mereka untuk memperoleh kemenangan siapapun pemilik ayam ini asalkan dari teman sepihaknya. Tepuk, sorak dan cemooh silih berganti. Kedua ayam memperlihatkan sama-sama kuat dan sama-sama bertahan. Kemenangan yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Bahkan sebaliknya kekalahan memang masih harus menimpanya.
Sri Baginda makin bertambah murka. Dicari akal dan daya uraya. Atas pendapat dari abdi raja yang lain, diciptanya seekor singa gembong menjadi ayam wido kembang gedhang. Rupa-rupanya pertandingan kali ini merupakan babak terakhir sebagai penentu siapa yang kalah dan menang. Dari kedua belah pihak penuh dengan rasa prihatin. Demikian juga dikalangan para penonton. Kira-kira pukul 13.00 pertandingan yang keempat kalinya dimulai. Satu sama lain menunjukkan ketangkasan dan keuletannya. Berjam-jam perlawanan sengit berlangsung. Namun belum ada tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan ini. Melihat kejadian yang demikian, tak sabar rupanya hati Ki Awu-Awulangit untuk menantinya. Kemudian ujarnya; “ Tinggal kali ini kau bertanding, maka bila tenagamu masih mampu, usahakanlah kemenangan dipihakmu, tetapi apabila tidak, apa hendak dikata kalau kekalahan harus kami derita. “
Mendengar demikian, Si Klawu Bendha seakan-akan mendapat cambuk dan segera mangakhiri tugasnya. Rasa lelah serta rasa sakit sudah tidak dirasakan. Dengan kekuatan yang masih ada padanya, dikerahkan seluruhnya. Kurang lebih pukul 18.00 berakhirlah pertarungan itu dan dan kemenangan dapat digondolnya. Rombongan Sri Baginda pulang dengan loyo, cemas, dan malu tanpa membawa hasil. Sebaliknya pendukung Ki Awu-Awulangit merasa sangat lega dan senang dengan sorak-sorai penuh kegembiraan.
Tetapi Ki Awu-Awulangit sendiri agak kebingungan, karena selesai pertarungan ayam Ki Awu-Awulangit terus lari yang tidak jelas arahnya, dikejarlah ayam itu dengan sekuat tenaganya, tidak lama diantaranya, berjumpalah dengan segerombolan orang yang sedang duduk-duduk dibawah pohon yang rimbun daunnya untuk melepaskan lelah. Ditanya orang-orang itu: “ tahukah kalian seekor ayam klawu bendha yang lari kemari? Sahut mereka dengan terkejut. “Tidak, pak! kami tidak tahu.” Mendengar jawaban itu cemaslah Ki Awu-Awulangit. Kemudian jawaban yang lain “ kami tadi melihat pak, tetapi entah kemana sekarang ia pergi.”
Dengan jawaban yang simpang siur ini, kelak tempat ini aku beri nama “Puncu”. Nama ini diambil dari kata “Pating Plencu.” Sedang letak sekarang terletak didesa Harjobinangun Kecamatan Grabag di pesisir selatan. Harapan sudah menipis tetapi masih juga dicarinya. Sambil menoleh kekanan dan kekiri, mengincar-incar disela-sela semak, tiba-tiba ada seorang perempuan tua tidak jauh dari tempat itu lewatdengan cepatnya.
Ditanyanya perempuan itu, tetapi sepatah katapun tidak menjawabnya. Disangkanya seorang sedang menjadi penyamun menanti-nanti mangsanya. Melihat kejadian yang demikian itu kemudian tempat itu diberi nama “Sidan.” Dengan rasa hampa pulanglah Ki Awu-Awulangit dan mulai saat itu berakhirlah kegemarannya menyabung ayam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar