Selomanik berasal dari dua suku
kata, ‘Selo & Manik’. Selo berati batu dan Manik berarti permata.
Dinamakan demikian karena di wilayah Selomanik terdapat dua buah batu besar
yang konon menjadi pertapaan seorang tokoh Selomanik yang akan kita bahas di
bawah ini. Dalam sejarah berdirinya Kadipaten Wonosobo tertulis bahwa cikal
bakal Wonosobo bermula dari suatu kadipaten di wilayah Selomanik. Dimana bahwa
pimpinan daerah Selomanik adalah Kanjeng Raden Tumenggung ( KRT ) Kertowaseso.
KRT Kertowaseso adalah seorang
pengikut Pangeran Diponegoro yang setia ikut dalam perang gerilya. Untuk lebih
jelas mengetahui sejarah siapa KRT Kertowaseso mari kita menelusuri latar
belakang KRT Kertowaseso.
KRT Kertowaseso adalah seorang
Tumenggung di dalam struktur pemerintahan keraton Mataram Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pada saat dalam intern keraton terjadi kemelut, akibat kebijakan
Patih Danurejo yang lebih condong berpihak pada VOC. KRT Kertowaseso
menempatkan dirinya pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut semakin meruncing
dengan kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri urusan internal keraton,
menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan kepada pengusaha-pengusaha
Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Dan yang terakhir, pembuatan
jalan tembus Magelang – Jogja yang melewati dengan membuat patok-patok di atas tanah
makam leluhur tanpa seizin pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro beserta
keluarga dan pengikutnya yang marah kemudian membongkar patok-patok yang
melewati makam leluhur Diponegoro. Akibat tindakan Pangeran Diponegoro dan
pengikutnya maka pada tanggal 20 Juli 1825 pada sore hari, VOC dan bala
tentaranya menyerbu puri kediaman pangeran Diponegoro. Maka terjadilah
peperangan di komplek sekitar puri, sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya
yang setia berhasil meloloskan diri dari blokade tentara Belanda. Selanjutnya Diponegoro menyingkir ke arah
selatan, dan menyusun kekuatan di sebuah goa, yang kemudian terkenal dengan goa
Selarong. Sejak saat itu Pangeran Diponegoro menyerukan perang salib atau
perang suci melawan kaum kafir Belanda. Ternyata seruan Diponegoro mendapat
simpati dari banyak pangeran, bangsawan maupun rakyat Mataram yang selama ini
sudah muak dengan kesewenang-wenangan Belanda yang membuat rakyat menderita.
Seruan pangeran Diponegoro ternyata juga mendapat sambutan hangat dari kalangan
ulama dan santri. Hal ini bisa mengerti, mengingat pangeran Diponegoro adalah
seorang pangeran yang sejak kecil lebih menyukai kehidupan religius di
pesantren, daripada hidup mewah didalam keraton. Beranjak dewasa sang pangeran
banyak mempunyai sahabat dan menjalin hubungan akrab dengan kalangan
ulama-ulama yang tersebar di penjuru Jawa. Jadi wajar jika seruan perang
Diponegoro banyak mendapat sambutan hangat dan melibatkan laskar-laskar santri
di seluruh wilayah Jawa.
Kembali kepada sejarah KRT Kertowaseso.
Setelah menyusun kekuatan dari goa Selarong, Pangeran Diponegoro segera
memerintahkan para pengikutnya. Terutama para pangeran yang mahir dan
mengetahui ilmu berperang untuk menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya
untuk menghimpun kekuatan dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di
seluruh Jawa agar bangkit melawan kezaliman Belanda. Termasuk diantaranya
kepada KRT Kertowaseso. Pangeran
Diponegoro memerintahkan kepada KRT. Kertowaseso untuk menghubungi Kyai Alwi
atau Ali sahabatnya ( pada waktu itu orang Jawa biasa memanggil dan
menyebut dengan “Kyai Ngalwi” ) di sebuah pesantren di lembah yang
sekarang di namakan Kaliwiro. Kyai Alwi adalah seorang ulama yang diperkirakan
berasal dari daerah Jawa Timur. Beliau datang untuk berdakwah mengajarkan dan
menyebarkan agama Islam di daerah ini. Mengenai latar belakang beliau, tidak
bisa diketahui secara pasti. Karena memang sangat sedikit, bahkan bisa di
katakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui latar belakang sejarah
Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak beliau berhubungan
dengan KRT Kertowaseso.
Dengan segera KRT Kertowaseso
berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai
di pesantren Kyai Alwi, KRT Kertowaseso mendapat dukungan untuk menghimpun dan
membentuk laskar perang yang terdiri dari santri-santri kyai Alwi.
Laskar-laskar ini sangat penting dan strategis untuk menunjang perang semesta
rakyat Jawa. Disamping itu KRT Kertowaseso juga menempatkan daerah ini sebagai
basis perlawanan dan rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah ini
yang berupa hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam sangat
menunjang untuk medan gerilya. Sehingga akhirnya pangeran Diponegoro pun juga
bergerilya dan membuat basis perlawanan di daerah ini. Kemudian untuk menjaga
eksistensi pesantren dari serbuan tentara Belanda, maka KRT Kertowaseso membuat
markas prajurit di sebuah desa di lereng gunung Lawang. Mengingat betapa
pentingnya peran pesantren dalam pendidikan agama maupun untuk kaderisasi
laskar. Maka perlu dihindarkan keterlibatan pesantren dalam konflik secara
langsung, di dalam perang melawan Belanda.
Penempatan markas laskar di desa lereng gunung
Lawang ini kemudian menjadikan KRT Kertowaseso terkenal dengan sebutan Ki Ageng
Selomanik. Sehingga daerah ini kemudian hari terkenal dan di namakan Selomanik.
Hingga pada akhirnya atas perintah Diponegoro, KRT Kertowaseso membentuk sebuah
kadipaten untuk mempermudah menghimpun laskar rakyat. Dalam perjalanan
sejarahnya, kadipaten Selomanik kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
kadipaten Wonosobo. Sampai pada akhir hayatnya KRT Kertowaseso atau Ki Ageng
Selomanik tetap menetap di daerah tersebut dan di makamkan di desa tersebut.
Tidak diketahui secara pasti sebab musabab meninggalnya Ki Ageng Selomanik.
Meninggal karena sakit atau terbunuh dalam perang..? Tidak ada sejarah yang
menuliskan peristiwa itu. Makam beliau hingga sekarang masih terawat dengan
baik dan menjadi salah satu agenda ziarah di setiap hari ulang tahun Wonosobo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar