Candi Pringapus adalah candi di
desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut
ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat
kaitanya dengan Dewa
Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi
tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut
prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932. Candi ini
merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal
ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari
yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte
Siwaistis. Hal ini terlihat dari adanya arca-arca bersifat Hindu yang erat
kaitannya dengan Dewa Siwa.
Sebagaimana lazimnya candi-candi
Hindu yang memanifestasikan Siwa, posisi candi dan letak arca-arcanya selalu
menjadi ciri khas yang memperhatikan penjuru mata angin. Pintu utama candi
menghadap ke timur, dan dikanan-kirinya dijaga Kala dan Nandi. Kala adalah
anak Siwa yang lahir dari persatuan antara Siwa dengan kekuatan alam yang
dahsyat. Kala lahir sebagai raksasa sakti yang dapat mengalahkan semua dewa.
Sedangkan Nandi adalah lembu putih kendaraan Siwa, sehingga dalam satu
perwujudannya Siwa disebut Nandi Cwara.
Pada bagian lain terdapat Durga
Mahesasuramardhini. Durga merupakan salah satu perwujudan Uma sebagai dewi cantik
dengan berbagai macam senjata anugerah dewa. Sebagai Durga, Uma menurut legenda
berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau yang mengganggu para
Brahmana. Di dalam candi juga terdapat Yoni yaitu salah satu
perwujudan Uma (Istri Siwa) yang berfungsi sebagai alas arca Siwa atau
perwujudannya (biasanya Lingga) persatuan lingga dan Yoni merupakan simbol
penciptaan alam semesta sekaligus simbol kesuburan.
Sebagai saksi kebesaran sejarah
masa silam, hal lain yang menarik dari Candi Pringapus adalah hiasa Kala
berdagu seperti Kala type Jawa Timur. Pada libur, candi ini banyak dikunjungi anak
sekolah, turis domestik dan juga mancanegara seperti Amerika,
Belanda, dan Belgia. Memang
belum banyak penelitian terhadap Candi Pringapus, khususnya dari aspek
historis-arkeologis. Namun demikian, dari data arkeologis yang masih ada,
khususnya data arsitektur, dapat diungkap sedikit tentang latar belakang Candi
Pringapus. Pertama, tentang latar belakang keagamaannya. Dalam kondisinya
sekarang, bagian-bagian utama dari Candi Pringapus yang terbuat dari batu
andesit ini masih dapat disaksikan terdiri atas bagian kaki, tubuh, dan atap
yang bertipe menara. Dari komponen-komponen bangunan yang masih ada,
diperkirakan candi ini berlatar belakang agama Hindu. Perkiraan ini didasarkan
pada pemahaman bahwa candi pada umumnya berlatar belakang agama Hindu atau
Buddha.
Sedangkan sampai saat ini, bentuk-bentuk
komponen bangunan yang berasosiasi dengan agama Buddha, misalnya stupa, belum
ditemukan di Candi Pringapus. Dari
aspek arsitekturnya, Candi Pringapus memiliki karakteristik sebagai bangunan
yang memiliki langgam Mataram Kuna. Karakteristik ini ditunjukkan melalui
bangunannya yang terkesan kekar, memiliki komposisi yang serasi antara
bidang-bidang tegak, bidang-bidang mendatar, dan ragam hiasnya yang dibuat
berbentuk relief dengan gaya naturalis. Aspek kedua yang dapat diungkap adalah
periodisasinya. Berdasarkan langgam bangunan Candi Pringapus, diperkirakan
berasal dari abad IX Masehi.
Tidak jauh dari tempat Candi
Pringapus didirikan, terdapat bangunan candi lain yang dinamakan Candi Perot.
Nama candi tersebut diberikan sesuai dengan persepsi orang Jawa untuk menyebut
sesuatu yang ganjil bentuknya, yaitu miring seperti kondisi Candi Perot saat
ini. Letak Candi Pringapus dan Candi Perot memang cukup jauh dari jalan raya
meski telah tersedia akses berupa jalan yang dapat dilalui kendaraan roda dua
maupun roda empat.
Namun demikian, pesonanya cukup
menjanjikan. Kedua candi ini terletak di tengah pemukiman yang bernuansa
pedesaan. Kondisi lahan di sekitarnya berbukit-bukit, dekat dengan sungai, dan
terdapat sumber-sumber air. Itulah yang kiranya menjadi bagian dari daya tarik
Candi Pringapus dan lingkungannya. Letaknya yang berada di tengah pemukiman
merupakan potensi atraksi wisata tersendiri, di mana pengunjung dapat
berinteraksi langsung dengan nuansa dan berbagai bentuk aktifitas serta
keramahan khas pedesaan yang belum tentu dapat ditemukan di tempat lain.
Jejak
Keselarasan Candi Dengan Lingkungannya
Jika dirunut dari aspek konseptual bangunan suci masa klasik di Indonesia,
keberadaan sumber-sumber air di lingkungan Candi Pringapus merupakan jejak
hubungan antara daya dukung lingkungan dengan bangunan suci pada masa itu.
Dalam konsepsi Hindu maupun Buddha, bangunan suci memang seyogyanya dibangun di
tempat yang dekat dengan sumber air. Selain untuk memenuhi konsepsi kesuburan,
diyakini pula bahwa sumber atau mata air di dekat suatu candi menjadi tempat
yang disukai oleh para dewa sebagai persinggahan sementara sebelum menitis ke dalam
arca yang dipuja dalam candi.
Korelasi tersebut dipertegas lagi dengan adanya temuan arca nandi di
dekat sumber-sumber air sekitar Candi Pringapus. Nandi adalah sebutan
untuk figur seekor sapi yang diakui sebagai tunggangan atau wahana Dewa
Siwa dan Dewi Durga dalam agama Hindu. Arca nandi biasa ditemukan di
situs percandian yang bersifat Hinduisme. Oleh karena itu, dapat pula
diperkirakan bahwa lingkungan di sekitar Candi Pringapus pada masa lampau
memang bernuansa agama Hindu dan sumber-sumber air tersebut memang memiliki
keterkaitan dengan candi di dekatnya.
Sebuah
Cerminan Nuansa Peribadatan yang Kental
Satu lagi fenomena menarik yang dapat ditafsirkan dari hubungan antara
Candi Pringapus dengan lingkungannya yang berbukit-bukit. Di satu sisi, dalam
konsepsi pendirian bangunan suci Hindu dan Buddha, lingkungan yang
berbukit-bukit memang salah satu pilihan yang diseyogyakan karena dianggap
memiliki potensi kesakralan yang tinggi, selain di tepi sungai atau mata air.
Dari keberadaannya di lingkungan yang berbukit-bukit, dapat dibayangkan
tingginya tingkat kesulitan dalam pembangunannya, terlebih karena dibuat dari
batu andesit dalam beragam bentuk dan ukuran. Tidak berhenti pada hal itu saja,
dapat dibayangkan pula tantangan tersendiri yang harus dilalui oleh para umat
pada masa itu untuk mencapai Candi Pringapus dan melakukan peribadatan di sana.
Kiranya yang dapat menggerakkan para umat adalah keinginan yang kuat untuk
melakukan peribadatan, sementara segala bentuk kesulitan yang harus dilalui dianggap
sebagai ujian yang akan menambah nilai ibadah mereka. Hal ini sekaligus
mencerminkan bobot kesakralan Candi Pringapus sehingga memiliki daya tarik bagi
umat untuk dikunjugi pada masanya.
Di sisi lain kita juga telah mendapat gambaran bahwa terdapat pula
candi-candi lain, bahkan yang lebih besar, terletak di lingkungan yang lebih
mudah dicapai. Sebagai contohnya adalah candi-candi di dataran rendah, misalnya
Prambanan, Plaosan, dan Sewu. Dari beragam data arkeologis, kita memperoleh
gambaran bahwa candi-candi tersebut sangat signifikan di mata masyarakat
pendukung budayanya dan menjadi tempat ibadah yang "ramai"
dikunjungi.
Namun demikian, tampaknya terdapat nuansa yang
membedakan antara Candi Pringapus yang terletak di "pelosok" dengan
candi-candi tersebut di atas. Candi Prambanan, Sewu, dan Plaosan, mewakili
kelompok candi kerajaan, sehingga tidak tertutup kemungkinan memiliki nuansa
politis atau motif keduniawian lainnya yang terbalut dalam ritual peribadatan.
Sementara itu, Candi Pringapus mewakili kelompok candi yang nuansa
peribadatannya lebih kental, terutama sekali dilatarbelakangi keletakan dan
lngkungannya yang sangat mendukung terhadap munculnya suasana sakral dan
khidmat. Nuansa serupa tampaknya juga dimiliki oleh candi-candi lain di Jawa Tengah
yang keletakan dan lingkungannya memiliki kesamaan atau kemiripan dengan Candi
Pringapus, di antaranya Kompleks Candi Dieng, Candi Sengi, Candi Pendem, Candi
Lumbung, dan Candi Selogriyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar