Pada
tahun 1985 Pangeran Diponegoro menentang penjajahan Belanda. Pertempuran ini
menewaskan delapan ribu orang Eropa dan tujuhribu penduduk pribumi. Dalam
peperangan ini Belanda mengeluarkan biaya hingga 20.000.000 gulden . Peperangan ini bermula dari perbuatan semena –mena
Residen Belanda dan Patih Danurejo di Yogyakarta . Tanpa berunding dan
memberitahu lebih dahulu kepada Pangeran Diponegoro ,Patih Danurejo telah
memerintahkan membuat jalan melintasi pekarangan rumah pangeran Diponegoro
dengan menancapkan tiang-tiang pancang. Karena hal inilah pangean Diponegoro
tersinggung dan menyalah api peperangan Tegalrejo yang menjadi tempat
penancapan tiang-tiang pancang untuk jalan “Jogalan”, masyarakatnya merasa
dirugikan karena banyak tanah miliknya yang harus dielakan tanpa ganti rugi.
Peperangan meletus dan akhirnya
pasukan dari Pangeran Diponegoro berhasil menewaskan “anthek-anthek” Belanda
Termasuk Patih Danurejo. Setelah patih Danurejo meninggal, terjadilah kevakuman
pemerintahan Magelang sehingga dipilih seorang pengganti yang dipindah
tempatkan dari Parakan. Namun, lama-kelamaan Arya Danukusuma, nama Bupati
Kabupaten Magelang di Paakan ini meminta dipindahkan di kabupaten Menoeh(
nantinya Temanggung). Lama-kelamaan Residen Kedu C.L. Hartman mengusulkan nama
Kabupaten Menoreh menjadi Kabupaten Temanggung, dan pada 28 Oktober 1834 Majlis
Hindia menyetujui ususlan penggantian nama ini. Karena di kabupaten inilah
Bupati dan Pemerintahan Eropah bertempat tinggal. Perekonomian di Kabupaten Temanggung
berkembang pesat, terutama pertanian dan peternakan. Namun, tiba-tiba terjadi
lagi peperangan di Solo yang menyebabkan bebeapa orang petinggi dari Solo
terpaksa melarikan diri karena dikejar-kejar pasukan Belanda. (tepatnya setelah
Raden Patah wafat) dan terdesak di daerah Temanggung hingga ke sebuah hutan
lebat (namanya menjadi desa Kandangan). Akhirnya petinggi Solo yang terdesak
itu menetap dan membuat sebuah dusun/perkampungan.
Karena petinggi
Solo itiu tak diketahui dengan jelas namanya, maka dipanggillah dengan sebutan
“Kyai Kampung”. Karena Temanggung perekonomiannya berkembang pesat dan jalur
perdagangannya melalui desa ini belum diberi nama, maka disebutlah desa ini
sebagai desa persinggahan pedagang (pedagang hewan ternak kebanyakan) ketika
paa pedagang kamalaman untuk mencapai Kota Temanggung. Pada umumnya
pedagang-pedagang itu menitipkan tenaknya kepada Kyai Kampung, sehingga tempat
tinggal Kyai Kampung lebih mirip dengan kandang. Maka, terkenallah tempat
tinggal /dusun persinggahan Kyai Kampung ini sebagai Desa Kyai Kandang. Tahun demi tahun berlalu, perdagangan di
Temanggung, Desa Kyai Kampung khususnya, semakin besar, sehingga penitipan
hewan ternak para pedagang yang singggah pun semakin banyak, dan semakin
bertambah pula kandang yang harus dibuatoleh Kyai Kandang, karena tempat
tinggalnya tidak bias lagi dimuat ternak-ternak itu. Semakin banyak waktu yang
dilalui tentu saja semakin lanjut usia Kyai Kampung. Kyai Kampung akhirnya
sakit dan meninggal dunia di desa perkampungan ini. Jasad beliau dimakamkan di
Desa Kyai Kandang sebelah barat.
Untuk mengenang jasa kyai yang
membangun desa itu, maka disebutlah desa Kyai Kandang sebagai Desa Kandangan
dengan kandangnya yang banyak. Sayangnya setelah Kyai kampung meninggal dunia
perdagangan mulai menurun bahkan tak ada. Generasi ke generasi berganti dan
legenda Kyai Kampungpun terlupakan meskipun makamnya masih ada dan namanyapun
telah dijadikan nama desa. Namun, karena tak diketahui pasti nama asli sang
Kyai Kampung beserta seluuh peninggalannya tak ditemukan, kecuali makam tak
terurus, maka terlupakanlah legenda itu. Desa Kandangan semakin banyak
penduduk, lahan-lahan hutan berkurang, sawah dan pemukiman memenuhi hutan yang
telah ditebangi. Hamper tak ada yang ingat kejadian desa kandangan ini. Puluhan
tahun legenda desa ini terlupakan, tak ada yang memperdulikannya. Bahkan
keadaan makam Kyai Kampung pun terlupakan. Tak berbentuk suatu makam leluhur
yang dihormati karena hanya berwujud tanah rata yang diberi nisan batu bata,
berlumut, tanpa nama, tahun, dan asal usul yang jelas.
Masyarakat hanya
menganggapnya batu bertumpuk saja. Sekeliling makam dibangun beberapa rumah.
Sebelah selatan rumah penduduk (sesepuh desa), sebelah barat dan utara rumah
anak-anaknya, sebelah timurnya berupa hutan/kebun tak terurus. Sedangkan
sebalah baat daya makam itu adalah tempat MCK (waktu itu makam itu belum
diketahui). Suatu ketika sang penduduk yang tinggal di sebelah selatan makam
yang bernama Bapak Parmin mendapatkan seorang putra. Ketika sang bayi mencapai
empat bulan, Pak Parmin merasakan badannya begitu kelelahan sepulang dai
sungai. Beliau berjemur di depan rumahnya, membelakangi makam bekebalikan
dengan arah MCK yang menghadap makam. Tengah santainya Pak Parmin duduk
berjemur, datanglah sosok laki-laki berperawakan laki-laki pada umumnya dengan
jalan yang berwibawa. Mengambil posisi sujud sebanyak 3 kali di hadapan Pak
Parmin.
Pak Parmin tertegun tak berkedip, tiba-tiba
orang itu bertanya pada Pak Parmin “kamu yang tinggal di tempat ini?” sampai 3
kali laki-laki itu bertanya barulah Pak Parmin menjawab “Iya, Bapak ini siapa?
Dari mana? Ada apa?” laki-laki itu tertawa dan menjelaskan semua legenda Kyai
Kampung. Ia mengaku sebagai abdi/utusan dari Kyai Kampung untuk menyampaikan
beberapa pesan pada warga Kandangan. Laki-laki itu berpesan aga warga tidak
membuat WC/MCK menghadap makam, rubahlah agar tidak membuat Kyai Kampung
tersinggung. Laki-laki itu juga memperlihatkan pada pak Pamin bahwa batu bata
berlumut yang sejajar itulah makam Kayai Kampung. Ia berpesan agar warga
membersihkan makam itu seminggu sekali setiap hari jumat. Konon, kata pak
Parmin ketika diperlihatkan makam Kyai Kampung dangan laki-laki misterius tadi,
terdapat sebuah keis dan tombak menyandar di batu nisan itu. Namun setelah
laki-laki itu bepaling, dua benda pusaka itu tak terlihat lagi. Laki-laki itu
mengatakan bahwa dua benda pusaka itu akan tetap beada di tempatnya.
Begegas
pak Parmin minta izin untuk merawat(mempebaiki), namun laki-laki itu melarangnya
dengan alasan bahwa Kyai Kampung belum mengizinkan. Lagipula saat pak Pamin
menanyakan siapa nama Kyai Kampung yang sebenanya dan kapankah makam harus
dirawat, laki-laki itu menjawab “saat aku kembali lagi menemuimu dan saat
itulah akan kuberi tahu nama Kyai”. Sampai sekarang nama Kyai Kampung belum
diketahui. Konon katanya ruhnya kini berada di Kedu. Pesan-pesan laki-laki
misterius itu masih sealalu dilaksanakan oleh pak Parmin. Bahkan pada saat
Jumat kliwon selalu ada acara sadranan di makam itu. Menuut ceita, sudah ada
empat orang yang betapa selama 40 hari 40 malam minta agar diizinkan
mendapatkan keris Kyai kampung yang dapat menjelma menjadi harimau aksasa yang
bias terbang itu, tapi tak diizinkan kyai kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar