Sejarah berdirinya Gereja Katolik di Temanggung dimulai dari seorang guru
pribumi Jawa, Darus Sastrowiyoto, yang tertarik dengan agama Katolik, dan
dididik oleh para suster Mendut. Dari tahun 1909 sampai dengan tahun 1914,
Ia mengajar di Holland Inlansche School yang adalah sekolah tingkat dasar untuk
anak-anak pribumi milik pemerintah Belanda. Ia dibaptis dengan nama
Christoforus dan isterinya Caecilia.
Karena tugasnya sebagai guru pemerintah Belanda, maka ia harus berpindah tempat
mengajar; dari Mendut pindah ke Parakan kemudian pindah lagi ke Tembarak, dan
akhirnya bertugas di Temanggung. Seperti orang Katolik pada umumnya, ia telah
menerima Sakramen Baptis, Sakramen Tobat, Sakramen Mahakudus dan Sakramen
Pengurapan Orang Sakit oleh Romo yang didatangkan dari Magelang ke Temanggung.
Darus Sastrowiyoto meninggal tahun 1928
dan dimakamkan di Pengampon wilayah Jampirejo Temanggung.
Sepeninggal Darus Sastrowiyoto panggilan iman tumbuh subur. Orang-orang yang
terpanggil masuk dalam Gereja Katolik dari warga asli Temanggung adalah FJ.
Siswosukarto, V. Kusmin, S. Sanjoto Sastrosudirja dan Stefanus Siswarjo.
Sekitar tahun 1930 datang warga
Katolik dari luar Temanggung, sebagian besar dari paroki Wedi Klaten.
Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pedagang pasar, diantaranya adalah C.
Wiryosusanto, Mangunsukarto, Thomas Siswopranoto, AS. Adisudarsono. Merasa
sebagai saudara seiman, mereka sering melakukan doa bersama di rumah secara
bergiliran. Umat Katolik Temanggung semakin banyak, maka C. Wiryosusanto
melapor ke gereja Santo Antonius (sekarang St. Ignatius) di Magelang. Kemudian
dibentuklah sebuah stasi kesil
yang diberi nama Stasi Antonius
Temanggung. Pada waktu itu, pastor yang berkarya di Temanggung adalah
pastor Lucas SJ, Dideerich, SJ, Yos Versteegh, SJ dan JB. Prenthaler, SJ yang
datang dari Magelang dan Muntilan.
Stasi kecil di Temanggung belum memiliki rumah ibadat, maka perayaan Ekaristi
dilaksanakan dengan berpindah-pindah tempat, diantaranya adalah di ruah seorang
warga Tionghowa di kampung Segenjahan, rumah Tuan Chevalier (selatan alun-alun
Temanggung), kantor Pengadilan Negeri, rumah Tuan Phillips (sekarang SDN I
Jampiroso), salah satu ruangandi Panti Lemah Ingatan (sekarang BB RSBG
Kartini), salah satu ruangan di Staandard School milik Missie (sekarang Kantor
Kecamatan Temanggung), dan rumah Asisten Residen (sekarang gedung DPRD
Temanggung).
Setelah Missie dapat membeli tanah dan rumah sendiri, perayaan Ekaristi Suci
tidak lagi berpindah-pindah tempat. Tanah dan rumah tersebut digunakan untuk
Staandaard School yang baru, bagian depan untuk kapel dan bagian lain untuk
Kesaard School (Schaakel School). Kapel kecil yang sederhana itu diberi nama
santo pelindung “Antonius dari Padua”.
Pada tahun 1940-an pastor-pastor
yang berkarya di Temanggung adalah pastor H. De Kyuper, SJ, IM. Haryadi, Pr, R.
Sandjojo, Pr. PC. Dwidjo Susanto, Pr dan HA. Noordman, SJ. Jumlah umat
berkembang terus, sampai dengan tahun 1949,
jumlah kumulatif warga Temanggung yang dibaptis adalah 283.
Pada saat itu banyak orang menganggap bahwa Gereja Katolik identik dengan
penjajah Belanda maka pada Perang Kemerdekaan II (Clash kedua) banyak aset-aset
Belanda yang dibakar atau yang sering disebut politik bumi hangus. Namun,
berkat perlindungan Tuhan, kapel Santo Antonius dari Padua Temanggung terhindar
dari takti pembumihangusan.
Sesudah perang kemerdekaan, keadaan keamanan makin kondusif. Umat Katolik makin
senang ke gereja. Kedamaian Gereja yang ditaburkan semakin terasa di hati
masyarakat. Berbagai kegiatan gerejapun semakin indah bagaikan bunga-bunga
dalam masyarakat. Oleh karena itu buah pembaptisan begitu banyak dipanen. Pada
dekade 50-an, antara tahun 1950-1959
warga Temanggung yang dibaptis sejumlah 363 orang.
Pertumbuhan
umat Katolik di Temanggung sangat menggembirakan, maka kapel yang yang ada pun
tidak muat lagi, timbullah ide untuk membangun gedung gereja. Maka, di bulan
Desember 1957 pembangunan gedung
gereja dimulai dengan mandor bernama Abbink, seorang bekas pegawai Kereta Api
(N.L.S) dan anak asuh dari Van der Steuur di Magelang sedangkan rumah pastoran
mulai dibangun sekitar awal tahun 1958.
Mulai 1 Desember 1958 Romo Th.
Hardjowasito, Pr resmi menetap di Temanggung. Pada saat itu pula penggembalaan
uamt Katolik stasi Grabag diserahkan ke Temanggung.
Pada
hari Sabtu tanggal 21 Maret 1959 pukul 16.00 Mgr. Soegijopranoto, SJ memberkati
gedung pastoran, gedung Sekolah Rakyata dan Sekolah Menengah Pertama Kanisius
Temanggung. Selanjutnya, pada hari
Minggu Palma 22 Maret 1959 pukul 07.30 Mgr. Soegijopranoto, SJ memberkati
gedung gereja sekaligus memberikan nama pelindung Gereja Katolik Temanggung
”Santo Petrus dan Paulus”. Sebelumnya, pada tanggal 15 Juli 1959
terjadilah pergantian pucuk pimpinan Gereja Katolik Temanggung dari Rm. Th.
Hardjowasito, Pr diserahterimakan kepada Romo A. Sandiwan Broto, Pr.
Gereja Katolik semakin berkembang dan pelayanan pun semakin beraneka ragam.
Untuk kepentingan tersebut dibentuklah Yayasan Pengurus Gereja dan Papa Miskin
(PGPM) pada tanggal 12 Oktober 1959 yang diketuai oleh Rm. A. Sandiwan Broto,
Pr.
Umat
Katolik Temanggung semakin banyak dan dibutuhkan pelayanan yang semakin luas
pula. Padsa tahun 1960 Gereja Katolik Temanggung untuk pertama kalinya memiliki
mobil jeep dan mampu memasang pesawat telpon dengan nomor 84. Pelayanan umat semakin luas hingga
sampai di desa-desa seperti Kebondalem, Gesing, Rawaseneng, Balekerso,
Ngadirejo, Manggong, Gondangwinangun, Wates dan lain-lain.
Pada dekade 60-an umat Katolik Temanggung mengalami pertumbuhan yang sangat
signifikan. Antara tahun 1960-1965 terdapat 411 orang yang dibaptis. Hal ini
terjadi karena besarnya sumbangsih kaum awam dalam berbagai pelayanan
masyarakat seperti di bidang pertanian, perkebunan, pendidikan dan kesehatan.
Sayangnya, catatan-catatan kronologis sejak awal tahun 1965 sampai dengan akhir
1972 belum atau tidak banyak ditemukan, kecuali apa yang tercatat dalam Buku
Permandian, Buku Komuni Pertama, Buku Penerimaan Sakramen Krisma, Buku
Perkawinan dan Buku Kematian. Menurut data yang ada, antara tahun 1965-1970
terjadi peningatan umat Katolik Temanggung dengan jumlah yang sangat
menggembirakan. Pada rentang waktu tersebut terdapat 2020 orang yang dibaptis.
Selanjutnya jumlah umat bertumbuh terus, dari tahun 1970-1979 terdapata 1.232
baptisan, antara tahun 1980-1980 ada 1.067 baptisan, sedangkan tahun 1990-1999
terdapat 900 orang baptisan baru.
Dengan
semakin bertambahnya umat tersebut maka Gereja berusaha meningkatkan pelayanan
di stasi-stasi dengan pembangunan kapel-kapel yakni di stasi Candimulyo, stasi
Cemara, dan di stasi Ngesrep.
Pada tahun 1982 dibangun gedung pertemuan serbaguna yang diberi nama ”Balai
Keluarga” atas prakarsa Romo F. Widiantara, MSF. Gedung itu diresmikan oleh
Bupati Temanggung Drs. H. Yacub. Di tahun itu juga diletakkan batu pertama
pembangunan susteran PBHK, gedung SD dan SMP Santa Maria Parakan Temanggung.
Sedangkan pada tahun 1984, dibangun gedung sekolah SMA Santo Paulus di bawah
Yayasan Mandhala, tetapi karena berkembangnya jumlah sekolah negeri, maka
sekolah tersebut kalah bersaing dan akhirnya ditutup.
Pada pertengahan tahun 90-an dilakukan perehaban bangunan pastoran dan
pembangunan balkon gereja untuk mengimbangi perkembangan kebutuhan ruang bagi
umat.
Dalam perkembangan selanjutnya stasi Rowoseneng dan Parakan bertumbuh menjadi
Paroaki Administratif dan pada perkembangan terakhir, Paroki Administratif
Parakan menjadi paroki mandiri pada tanggal 8 Oktober 2005 dan diresmikan oleh
Uskup Agung Semarang Mgr. I. Suharyo, Pr.
Jumlah kumulatif pembaptisan di Gereja Temanggung menurut buku permandian
sampai akhir tahun 2005 adalah 6.596 orang. Sedangkan, menurut jumlah statistik
sampai dengan awal tahun 2005, jumlah warga umat Katolik Temanggung adalah
2.492 orang. Perbedaan jumlah tersebut dikarenakan jumlah kumulatif didasarkan
pada bukum permandian sedangkah jumlah statistik umat adalah jumlah real umat
karena adanya umat yang meninggal, pindah domisili ke paroki lain dan juga
dikurangi jumlah umat di Paroki Adminstratif Parakan dan Rowoseneng yang secara
adminstratif sudah mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar