Kamis, 25 Juli 2013

SEJARAH GEREJA PAROKI SANTO PETRUS DAN PAULUS



            Sejarah berdirinya Gereja Katolik di Temanggung dimulai dari seorang guru pribumi Jawa, Darus Sastrowiyoto, yang tertarik dengan agama Katolik, dan dididik oleh para suster Mendut. Dari tahun 1909 sampai dengan tahun 1914, Ia mengajar di Holland Inlansche School yang adalah sekolah tingkat dasar untuk anak-anak pribumi milik pemerintah Belanda. Ia dibaptis dengan nama Christoforus dan isterinya Caecilia.
            Karena tugasnya sebagai guru pemerintah Belanda, maka ia harus berpindah tempat mengajar; dari Mendut pindah ke Parakan kemudian pindah lagi ke Tembarak, dan akhirnya bertugas di Temanggung. Seperti orang Katolik pada umumnya, ia telah menerima Sakramen Baptis, Sakramen Tobat, Sakramen Mahakudus dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit oleh Romo yang didatangkan dari Magelang ke Temanggung. Darus Sastrowiyoto meninggal tahun 1928 dan dimakamkan di Pengampon wilayah Jampirejo Temanggung.

            Sepeninggal Darus Sastrowiyoto panggilan iman tumbuh subur. Orang-orang yang terpanggil masuk dalam Gereja Katolik dari warga asli Temanggung adalah FJ. Siswosukarto, V. Kusmin, S. Sanjoto Sastrosudirja dan Stefanus Siswarjo.
            Sekitar tahun 1930 datang warga Katolik dari luar Temanggung, sebagian besar dari paroki Wedi Klaten. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pedagang pasar, diantaranya adalah C. Wiryosusanto, Mangunsukarto, Thomas Siswopranoto, AS. Adisudarsono. Merasa sebagai saudara seiman, mereka sering melakukan doa bersama di rumah secara bergiliran. Umat Katolik Temanggung semakin banyak, maka C. Wiryosusanto melapor ke gereja Santo Antonius (sekarang St. Ignatius) di Magelang. Kemudian dibentuklah sebuah stasi kesil yang diberi nama Stasi Antonius Temanggung. Pada waktu itu, pastor yang berkarya di Temanggung adalah pastor Lucas SJ, Dideerich, SJ, Yos Versteegh, SJ dan JB. Prenthaler, SJ yang datang dari Magelang dan Muntilan.
            Stasi kecil di Temanggung belum memiliki rumah ibadat, maka perayaan Ekaristi dilaksanakan dengan berpindah-pindah tempat, diantaranya adalah di ruah seorang warga Tionghowa di kampung Segenjahan, rumah Tuan Chevalier (selatan alun-alun Temanggung), kantor Pengadilan Negeri, rumah Tuan Phillips (sekarang SDN I Jampiroso), salah satu ruangandi Panti Lemah Ingatan (sekarang BB RSBG Kartini), salah satu ruangan di Staandard School milik Missie (sekarang Kantor Kecamatan Temanggung), dan rumah Asisten Residen (sekarang gedung DPRD Temanggung).
            Setelah Missie dapat membeli tanah dan rumah sendiri, perayaan Ekaristi Suci tidak lagi berpindah-pindah tempat. Tanah dan rumah tersebut digunakan untuk Staandaard School yang baru, bagian depan untuk kapel dan bagian lain untuk Kesaard School (Schaakel School). Kapel kecil yang sederhana itu diberi nama santo pelindung “Antonius dari Padua”.
            Pada tahun 1940-an pastor-pastor yang berkarya di Temanggung adalah pastor H. De Kyuper, SJ, IM. Haryadi, Pr, R. Sandjojo, Pr. PC. Dwidjo Susanto, Pr dan HA. Noordman, SJ. Jumlah umat berkembang terus, sampai dengan tahun 1949, jumlah kumulatif warga Temanggung yang dibaptis adalah 283.
            Pada saat itu banyak orang menganggap bahwa Gereja Katolik identik dengan penjajah Belanda maka pada Perang Kemerdekaan II (Clash kedua) banyak aset-aset Belanda yang dibakar atau yang sering disebut politik bumi hangus. Namun, berkat perlindungan Tuhan, kapel Santo Antonius dari Padua Temanggung terhindar dari takti pembumihangusan.
            Sesudah perang kemerdekaan, keadaan keamanan makin kondusif. Umat Katolik makin senang ke gereja. Kedamaian Gereja yang ditaburkan semakin terasa di hati masyarakat. Berbagai kegiatan gerejapun semakin indah bagaikan bunga-bunga dalam masyarakat. Oleh karena itu buah pembaptisan begitu banyak dipanen. Pada dekade 50-an, antara tahun 1950-1959 warga Temanggung yang dibaptis sejumlah 363 orang.
Pertumbuhan umat Katolik di Temanggung sangat menggembirakan, maka kapel yang yang ada pun tidak muat lagi, timbullah ide untuk membangun gedung gereja. Maka, di bulan Desember 1957 pembangunan gedung gereja dimulai dengan mandor bernama Abbink, seorang bekas pegawai Kereta Api (N.L.S) dan anak asuh dari Van der Steuur di Magelang sedangkan rumah pastoran mulai dibangun sekitar awal tahun 1958. Mulai 1 Desember 1958 Romo Th. Hardjowasito, Pr resmi menetap di Temanggung. Pada saat itu pula penggembalaan uamt Katolik stasi Grabag diserahkan ke Temanggung.
Pada hari Sabtu tanggal 21 Maret 1959 pukul 16.00 Mgr. Soegijopranoto, SJ memberkati gedung pastoran, gedung Sekolah Rakyata dan Sekolah Menengah Pertama Kanisius Temanggung. Selanjutnya, pada hari Minggu Palma 22 Maret 1959 pukul 07.30 Mgr. Soegijopranoto, SJ memberkati gedung gereja sekaligus memberikan nama pelindung Gereja Katolik Temanggung ”Santo Petrus dan Paulus”. Sebelumnya, pada tanggal 15 Juli 1959 terjadilah pergantian pucuk pimpinan Gereja Katolik Temanggung dari Rm. Th. Hardjowasito, Pr diserahterimakan kepada Romo A. Sandiwan Broto, Pr.
            Gereja Katolik semakin berkembang dan pelayanan pun semakin beraneka ragam. Untuk kepentingan tersebut dibentuklah Yayasan Pengurus Gereja dan Papa Miskin (PGPM) pada tanggal 12 Oktober 1959 yang diketuai oleh Rm. A. Sandiwan Broto, Pr.
Umat Katolik Temanggung semakin banyak dan dibutuhkan pelayanan yang semakin luas pula. Padsa tahun 1960 Gereja Katolik Temanggung untuk pertama kalinya memiliki mobil jeep dan mampu memasang pesawat telpon dengan nomor 84. Pelayanan umat semakin luas hingga sampai di desa-desa seperti Kebondalem, Gesing, Rawaseneng, Balekerso, Ngadirejo, Manggong, Gondangwinangun, Wates dan lain-lain.
            Pada dekade 60-an umat Katolik Temanggung mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Antara tahun 1960-1965 terdapat 411 orang yang dibaptis. Hal ini terjadi karena besarnya sumbangsih kaum awam dalam berbagai pelayanan masyarakat seperti di bidang pertanian, perkebunan, pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, catatan-catatan kronologis sejak awal tahun 1965 sampai dengan akhir 1972 belum atau tidak banyak ditemukan, kecuali apa yang tercatat dalam Buku Permandian, Buku Komuni Pertama, Buku Penerimaan Sakramen Krisma, Buku Perkawinan dan Buku Kematian. Menurut data yang ada, antara tahun 1965-1970 terjadi peningatan umat Katolik Temanggung dengan jumlah yang sangat menggembirakan. Pada rentang waktu tersebut terdapat 2020 orang yang dibaptis. Selanjutnya jumlah umat bertumbuh terus, dari tahun 1970-1979 terdapata 1.232 baptisan, antara tahun 1980-1980 ada 1.067 baptisan, sedangkan tahun 1990-1999 terdapat 900 orang baptisan baru. Dengan semakin bertambahnya umat tersebut maka Gereja berusaha meningkatkan pelayanan di stasi-stasi dengan pembangunan kapel-kapel yakni di stasi Candimulyo, stasi Cemara, dan di stasi Ngesrep.
            Pada tahun 1982 dibangun gedung pertemuan serbaguna yang diberi nama ”Balai Keluarga” atas prakarsa Romo F. Widiantara, MSF. Gedung itu diresmikan oleh Bupati Temanggung Drs. H. Yacub. Di tahun itu juga diletakkan batu pertama pembangunan susteran PBHK, gedung SD dan SMP Santa Maria Parakan Temanggung. Sedangkan pada tahun 1984, dibangun gedung sekolah SMA Santo Paulus di bawah Yayasan Mandhala, tetapi karena berkembangnya jumlah sekolah negeri, maka sekolah tersebut kalah bersaing dan akhirnya ditutup.
            Pada pertengahan tahun 90-an dilakukan perehaban bangunan pastoran dan pembangunan balkon gereja untuk mengimbangi perkembangan kebutuhan ruang bagi umat.
            Dalam perkembangan selanjutnya stasi Rowoseneng dan Parakan bertumbuh menjadi Paroaki Administratif dan pada perkembangan terakhir, Paroki Administratif Parakan menjadi paroki mandiri pada tanggal 8 Oktober 2005 dan diresmikan oleh Uskup Agung Semarang Mgr. I. Suharyo, Pr.
            Jumlah kumulatif pembaptisan di Gereja Temanggung menurut buku permandian sampai akhir tahun 2005 adalah 6.596 orang. Sedangkan, menurut jumlah statistik sampai dengan awal tahun 2005, jumlah warga umat Katolik Temanggung adalah 2.492 orang. Perbedaan jumlah tersebut dikarenakan jumlah kumulatif didasarkan pada bukum permandian sedangkah jumlah statistik umat adalah jumlah real umat karena adanya umat yang meninggal, pindah domisili ke paroki lain dan juga dikurangi jumlah umat di Paroki Adminstratif Parakan dan Rowoseneng yang secara adminstratif sudah mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar