Desa Candirejo
yang punya 15 dusun ini berada di Perbukitan
Menoreh, perbukitan yang menyimpan banyak kisah. Dulu, Candirejo adalah jalur
gerilya Pangeran Diponegoro. Perbukitan Menoreh dianggap ideal sebagai tempat
mengintai Belanda karena dari sini bisa melepas pandang ke tempat yang luas,
selain medannya curam, berbatu-batu, dan mudah longsor. Salah
satu legenda yang masih hidup di Candirejo adalah tentang kera abu-abu berekor
panjang yang hidup di sini. Mereka dipercaya sebagai keturunan Hanoman. Hingga
sepuluh tahun lalu, kera abu-abu itu masih banyak di Candirejo, bergelantungan
di setiap pohon. Tapi sekarang tinggal sedikit. Tak ada yang tahu apa sebabnya.
Tidak semua orang dapat bertemu dengan kera-kera
itu karena munculnya
memang tiba-tiba. Tahu-tahu saja tebing ini sudah penuh kera. Menghilangnya
juga begitu tiba-tiba.
Sebagai bukti bahwa kera abu-abu itu bukan kera
biasa, pernah
suatu masa, kera sedang banyak-banyaknya hingga merusak kebun. TNI sampai turun
tangan hendak membasmi mereka menggunakan senapan. Ajaib, kabut mendadak turun,
menutup pandangan para tentara. Selamatlah para kera.
Watu Kendil
adalah batu berbentuk kendil (belanga tanah liat) sebesar rumah yang
menempel kokoh di tubir jurang. Padahal bagian yang menempel di tanah
diameternya tak lebih dari tiga meter, tapi dia tetap aman tak begerak, bahkan
ketika gempa melanda Yogyakarta, tiga tahun lalu.
Penduduk
meyakini Watu Kendil berfungsi sebagai batu sumpal dan dijaga seekor ular
siluman hitam besar. Watu Kendil menyumpal mata air besar yang ada di bawahnya,
sehingga jika batu itu berhasil menggelinding, akan keluar air berkekuatan
sangat besar dari bumi. Tak ayal, Watu Kendil jadi lambang stabilitas kawasan
Candirejo.
Di salah satu lekuk bukit yang
lebih tinggi dari posisi Watu Kendil, terdapat tiga gua yang dinamakan
Gondopurowangi, berarti gua pura yang beraroma wangi. Gua-gua ini adalah gua
buatan, dulunya sebagai tempat berlindung sekaligus mengintai tentara Belanda.
Budi tak tahu berapa usia gua ini dan siapa yang membuat, mungkin saja dibuat
pasukan Diponegoro. Dari tempat yang tinggi begitu, bisa melepas pandang jauh
tanpa terhalang.
Satu dari tiga
gua itu bernama Gua Gantung. Inilah yang paling dikeramatkan. Untuk mencapainya
harus menaiki tangga kayu vertikal setinggi tujuh meter. Tak heran kalau hanya
sedikit yang pernah (atau punya nyali) untuk ke sana. Menurut cerita di dalam
Gua Gantung terdapat singgasana dari batu, dan gua ini dipercaya memiliki jalan
gaib menuju Gunung Merapi dan Pantai Selatan.
Sarwono,
laki-laki berusia 30-an yang bermukim persis di samping kelokan Kali Progo.
Pada tahun 2003, tebing di dekat rumahnya longsor. Dia menemukan arca Dewa
Syiwa setinggi 50 sentimeter serta dua lingga, masing-masing setinggi 30 sentimeter
yang sebelumnya tertimbun tanah.
Kepala arca
ditemukan terpisah dari tubuhnya. Sarwono tetap menjaga seperti ketika
ditemukan, tidak dia rekatkan. Ketika gelap, menurut Sarwono, kepala arca ini
memancarkan sinar hijau, badannya tidak bersinar. Orang tua-tua di kampung
bilang kharisma arca Dewa Syiwa ini setara dengan sepuluh kerajaan. Saya tidak
tahu persis apa maksudnya.
Dua tahun lalu,
dengan menggunakan katrol, Sarwono mengangkat batu berbentuk yoni yang
sebelumnya berada di tengah-tengah Kali Progo. Masyarakat menyebutnya batu
gong, karena mengeluarkan bunyi gamelan yang, anehnya, hanya terdengar di
seberang sungai. Tahun lalu, dari halaman rumahnya dia temukan juga bata-bata
candi yang punya ukuran lebar tiga kali bata sekarang.
Seluruh temuan
itu dia laporkan ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemkab Magelang yang kemudian datang memeriksa. Diperkirakan arca Syiwa
dan lingga berasal dari abad ke-6 atau 7, masa pra-Mataram. Lebih tua dari usia
Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9, masa Mataram Kuno.
Temuan-temuan
tersebut disimpan Sarwono di dalam rumah dan di halaman rumahnya, tidak
diserahkan ke Museum
Karmawibhangga di kompleks Candi
Borobudur. Besar keinginan Sarwono agar
pemerintah setempat membangun museum di Candirejo untuk menyimpan artefak
bersejarah yang digali dari bumi Candirejo. Pasalnya Desa Candirejo ini
berdiri di atas reruntuhan candi.
Kalau
diletakkan di sana, masyarakat sini tidak punya kebanggaan lagi. Kalau di
Candirejo dibangun museum, orang dari tempat lain bisa melihat peninggalan yang
didapat dari Desa Candirejo langsung di Candirejonya sendiri. Orang-orang jadi
tahu bahwa tempat ini bersejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar