Rabu, 24 Juli 2013

DESA CANDIREJO




Desa Candirejo yang punya 15 dusun ini berada di Perbukitan Menoreh, perbukitan yang menyimpan banyak kisah. Dulu, Candirejo adalah jalur gerilya Pangeran Diponegoro. Perbukitan Menoreh dianggap ideal sebagai tempat mengintai Belanda karena dari sini bisa melepas pandang ke tempat yang luas, selain medannya curam, berbatu-batu, dan mudah longsor.  Salah satu legenda yang masih hidup di Candirejo adalah tentang kera abu-abu berekor panjang yang hidup di sini. Mereka dipercaya sebagai keturunan Hanoman. Hingga sepuluh tahun lalu, kera abu-abu itu masih banyak di Candirejo, bergelantungan di setiap pohon. Tapi sekarang tinggal sedikit. Tak ada yang tahu apa sebabnya.
Tidak semua orang dapat bertemu dengan kera-kera itu karena munculnya memang tiba-tiba. Tahu-tahu saja tebing ini sudah penuh kera. Menghilangnya juga begitu tiba-tiba.
Sebagai bukti bahwa kera abu-abu itu bukan kera biasa, pernah suatu masa, kera sedang banyak-banyaknya hingga merusak kebun. TNI sampai turun tangan hendak membasmi mereka menggunakan senapan. Ajaib, kabut mendadak turun, menutup pandangan para tentara. Selamatlah para kera.
Watu Kendil adalah batu berbentuk kendil (belanga tanah liat) sebesar rumah yang menempel kokoh di tubir jurang. Padahal bagian yang menempel di tanah diameternya tak lebih dari tiga meter, tapi dia tetap aman tak begerak, bahkan ketika gempa melanda Yogyakarta, tiga tahun lalu. 



Penduduk meyakini Watu Kendil berfungsi sebagai batu sumpal dan dijaga seekor ular siluman hitam besar. Watu Kendil menyumpal mata air besar yang ada di bawahnya, sehingga jika batu itu berhasil menggelinding, akan keluar air berkekuatan sangat besar dari bumi. Tak ayal, Watu Kendil jadi lambang stabilitas kawasan Candirejo.
Di salah satu lekuk bukit yang lebih tinggi dari posisi Watu Kendil, terdapat tiga gua yang dinamakan Gondopurowangi, berarti gua pura yang beraroma wangi. Gua-gua ini adalah gua buatan, dulunya sebagai tempat berlindung sekaligus mengintai tentara Belanda. Budi tak tahu berapa usia gua ini dan siapa yang membuat, mungkin saja dibuat pasukan Diponegoro. Dari tempat yang tinggi begitu, bisa melepas pandang jauh tanpa terhalang.
Satu dari tiga gua itu bernama Gua Gantung. Inilah yang paling dikeramatkan. Untuk mencapainya harus menaiki tangga kayu vertikal setinggi tujuh meter. Tak heran kalau hanya sedikit yang pernah (atau punya nyali) untuk ke sana. Menurut cerita di dalam Gua Gantung terdapat singgasana dari batu, dan gua ini dipercaya memiliki jalan gaib menuju Gunung Merapi dan Pantai Selatan.


Sarwono, laki-laki berusia 30-an yang bermukim persis di samping kelokan Kali Progo. Pada tahun 2003, tebing di dekat rumahnya longsor. Dia menemukan arca Dewa Syiwa setinggi 50 sentimeter serta dua lingga, masing-masing setinggi 30 sentimeter yang sebelumnya tertimbun tanah.
Kepala arca ditemukan terpisah dari tubuhnya. Sarwono tetap menjaga seperti ketika ditemukan, tidak dia rekatkan. Ketika gelap, menurut Sarwono, kepala arca ini memancarkan sinar hijau, badannya tidak bersinar. Orang tua-tua di kampung bilang kharisma arca Dewa Syiwa ini setara dengan sepuluh kerajaan. Saya tidak tahu persis apa maksudnya.
Dua tahun lalu, dengan menggunakan katrol, Sarwono mengangkat batu berbentuk yoni yang sebelumnya berada di tengah-tengah Kali Progo. Masyarakat menyebutnya batu gong, karena mengeluarkan bunyi gamelan yang, anehnya, hanya terdengar di seberang sungai. Tahun lalu, dari halaman rumahnya dia temukan juga bata-bata candi yang punya ukuran lebar tiga kali bata sekarang.

 


Seluruh temuan itu dia laporkan ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Magelang yang kemudian datang memeriksa. Diperkirakan arca Syiwa dan lingga berasal dari abad ke-6 atau 7, masa pra-Mataram. Lebih tua dari usia Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9, masa Mataram Kuno.
Temuan-temuan tersebut disimpan Sarwono di dalam rumah dan di halaman rumahnya, tidak diserahkan ke Museum Karmawibhangga di kompleks Candi Borobudur. Besar keinginan Sarwono agar pemerintah setempat membangun museum di Candirejo untuk menyimpan artefak bersejarah yang digali dari bumi Candirejo. Pasalnya Desa Candirejo ini berdiri di atas reruntuhan candi.
Kalau diletakkan di sana, masyarakat sini tidak punya kebanggaan lagi. Kalau di Candirejo dibangun museum, orang dari tempat lain bisa melihat peninggalan yang didapat dari Desa Candirejo langsung di Candirejonya sendiri. Orang-orang jadi tahu bahwa tempat ini bersejarah. 

Satu lagi bukti bahwa Dusun Paren berdiri di atas reruntuhan candi adalah Masjid Tiban yang berjarak beberapa puluh meter dari rumah Sarwono. Masjid yang menghadap Kali Progo ini berdinding kayu dan gedhek, berukuran 7 x 8  meter. Bentuknya seperti jamak masjid di desa. Baru terlihat bedanya ketika menengok ke bawah. Pondasi masjid tak lain adalah bagian dasar candi, yakni batu-batu andesit lebar. Entah butuh wangsit atau tidak sebelum dahulu, bapak-bapak pemuka agama Dusun Paren, memutuskan mendirikan masjid di atas reruntuhan candi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar