Kamis, 25 Juli 2013

CURUG SURODIPO (CURUG TROCOH)


            Curug Trocoh dikenal pula dengan nama Curug Surodipo, untuk menghormati perjuangan Surodipo, pengikut setia Pangeran Diponegoro. Ia pernah dipercaya sebagai panglima perang saat melawan tentara belanda (1825-1830). Di Desa Tawangsari, Kecamatan Wonoboyo, inilah Surodipo membangun benteng pertahanannya. Di tempat ini pula, Pangeran Diponegoro mengumpulkan para panglima perang dan pengikutnya, untuk menyusun siasat perang gerilya yang sangat melegenda itu. Curug Trocoh terletak di Desa Tawangsari, Kecamatan Wonoboyo, sekitar 28 km dari arah barat laut Kota Temanggung. Istilah Trocoh, dalam bahasa jawa, berarti selalu mengeluarkan air. Air di Curug ini memang tak pernah surut, termasuk saat kemarau panjang. Tetapi ketika terjadi penjarahan hutan besar-besaran di awal reformasi, ekosistem di kawasan ini sdikit terganggu.
Meski tak Objek wisata ini disebut juga sebagai Curug Surodipo. Nama ini memang terkait dengan seorang tokoh pejuang bernama Surodipo, yang merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro. Surodipo mengungsi ke Tawangsari, sekaligus untuk menyusun strategi perang melawan tentara Belanda. Curug Trocoh memiliki keunggulan yang jarang dimiliki objek wisata air terjun lainnya, yaitu mempunyai lima terjunan bertingkat. Ketinggian curug, dari puncak ke dasar sekitar 120 meter. Jarak antara terjunan satu dan terjunan berikutnya rata-rata 20 meter. Selain itu, airnya bersih dan segar.  Di sekitar curug terdapat bebatuan alam yang digunakan untuk duduk bersantai sambil menikmati keindahan air terjun dengan ketinggian yang terjal tersebut. Apalagi panorama alamnya sangat indah, khas pedesaan, serta berhawa sejuk.Dengan berbagai kelebihan ini, Curug Trocoh layak “dijual” sebagai objek wisata alam dan sejarah.  Tak sedikit pengunjung yang sengaja datang untuk melakukan meditasi, guna meningkatkan kemampuan supranaturalnya. Tempat yang sering digunakan untuk meditasi adalah goa-goa disekitar Watu Godheg. Tak jauh dari air terjun.
Tentang Surodipo:
            Surodipo mengalami beberapa kali pergantian nama dalam perjalanan hidupnya, hanya saja karena beliau bukan dari kalangan keluarga bangsawan utama, namanya hampir tidak tercatat dalam babad yang ditulis oleh sastrawan pada waktu itu. Kalaupun ada yang mencatat namanya hanyalah saat beliau memegang jabatan tertinggi di kraton Ngayogyakarta, itupun tidak menjelaskan latar belakang Surodipo secara rinci.
            Riwayat Surodipo justru ditemukan dalam babad (biografi) yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro saat beliau berada dalam pengasingan di Menado. Kisah dalam biografi tersebut menggambarkan kedekatan yang sangat mendalam antara Pangeran Diponegoro dengan Surodipo, bahkan beberapa hal yang paling rahasiapun dibeberkan secara gamblang. Nama-nama yang pernah digunakan Surodipo adalah sebagai berikut :
            Raden Joyosentiko, nama ini dipakai ketika masih menjadi abdi kepercayaan Pangeran Adipati Anom (ayahanda Pangeran Diponegoro, kelak HB III).
            Tumenggung Sumodipuro, nama ini dipakai ketika menjabat Bupati Japan (Mojokerto). Beliau memperoleh kepercayaan menjadi bupati karena jasa-jasanya ketika muncul pemberontakan Sepoy, dan juga karena jasanya dalam proses pergantian pucuk kekuasaan dari HB II kepada HB III.
            Raden Adipati Danurejo IV (Patih Danurejo IV), nama jabatan tertinggi yang dicapai dalam karir politik Surodipo. Pengangkatan dalam jabatan ini diraih karena usul John Crawfurd (Residen Yogyakarta) dan didukung oleh Pangeran Diponegoro. Beliau memegang jabatan ini dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun (1813-1847),  adalah waktu yang sangat lama untuk jabatan politik kenegaraan.
            Pangeran Kusumoyudo, nama kehormatan anugerah dari pemerintah Hindia Belanda sebagai penghargaan atas prestasi dan jasa-jasa Patih Danurejo IV selama menjalankan tugasnya. Penghargaan tersebut diberikan saat dilaksanakan acara serah terima jabatan (purna tugas) Patih Danurejo IV. Selanjutnya jabatan Patih Ngayogyakarta digantikan Tumenggung Gandakusuma dengan memakai nama jabatan Raden Adipati Danurejo V (Patih Danurejo V)
            Surodipo, nama yang dipakai setelah terbebas dari urusan pemerintahan dan menjadi rakyat biasa yang berbaur di tengah-tengah masyarakat.  Pada jamannya dulu nama yang satu ini sangat populer di kalangan masyarakat jawa. Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Surodipo sering berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Pergaulan Surodipo sangat luas di kalangan masyarakat bawah, tetapi hampir tidak ada yang mengetahui Surodipo adalah mantan penguasa tertinggi dalam pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta, karena Surodipo sendiri tidak pernah menceritakan masalah tersebut kepada orang lain.
            Jadi  Joyosentiko = Tumenggung Sumodipuro = Patih Danurejo IV = Pangeran Kusumoyudo = Surodipo.
            Berdasarkan beberapa bukti sejarah dan cerita tutur dari para keturunannya yang tersebar di berbagai tempat, ada dugaan kuat Surodipo menghabiskan masa akhir hidupnya di kawasan Gunung Prahu Kabupaten Temanggung. Di kawasan ini beliau mendirikan pesantren untuk menyebarkan agama Islam. Untuk mengenang kesejarahan Surodipo, Pemerintah Kabupaten Temanggung mengabadikan nama Surodipo sebagai nama tempat obyek wisata air terjun yang semula bernama Curug Trocoh menjadi Curug Surodipo.

2 komentar:

  1. nuwunsewu, bisa ditampilkan sumber2nya mas? baik tertulis maupun cerita. matursembah nuwun

    BalasHapus
  2. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus