Curug Trocoh dikenal pula dengan nama Curug Surodipo, untuk menghormati perjuangan Surodipo, pengikut setia Pangeran Diponegoro. Ia pernah dipercaya sebagai panglima perang saat melawan tentara belanda (1825-1830). Di Desa Tawangsari, Kecamatan Wonoboyo, inilah Surodipo membangun benteng pertahanannya. Di tempat ini pula, Pangeran Diponegoro mengumpulkan para panglima perang dan pengikutnya, untuk menyusun siasat perang gerilya yang sangat melegenda itu. Curug Trocoh terletak di Desa Tawangsari, Kecamatan Wonoboyo, sekitar 28 km dari arah barat laut Kota Temanggung. Istilah Trocoh, dalam bahasa jawa, berarti selalu mengeluarkan air. Air di Curug ini memang tak pernah surut, termasuk saat kemarau panjang. Tetapi ketika terjadi penjarahan hutan besar-besaran di awal reformasi, ekosistem di kawasan ini sdikit terganggu.
Meski tak Objek wisata ini disebut juga sebagai Curug
Surodipo. Nama ini memang terkait dengan seorang tokoh pejuang bernama
Surodipo, yang merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro. Surodipo mengungsi
ke Tawangsari, sekaligus untuk menyusun strategi perang melawan tentara
Belanda. Curug Trocoh memiliki keunggulan yang jarang dimiliki
objek wisata air terjun lainnya, yaitu mempunyai lima terjunan bertingkat.
Ketinggian curug, dari puncak ke dasar sekitar 120 meter. Jarak antara terjunan
satu dan terjunan berikutnya rata-rata 20 meter. Selain itu, airnya bersih dan
segar. Di sekitar curug terdapat bebatuan alam yang digunakan
untuk duduk bersantai sambil menikmati keindahan air terjun dengan ketinggian
yang terjal tersebut.
Apalagi panorama alamnya sangat indah, khas
pedesaan, serta berhawa sejuk.Dengan berbagai kelebihan ini, Curug Trocoh layak
“dijual” sebagai objek wisata alam dan sejarah. Tak
sedikit pengunjung yang sengaja datang untuk melakukan meditasi, guna
meningkatkan kemampuan supranaturalnya. Tempat yang sering digunakan untuk
meditasi adalah goa-goa disekitar Watu Godheg. Tak jauh dari air terjun.
Tentang Surodipo:
Surodipo
mengalami beberapa kali pergantian nama dalam perjalanan hidupnya, hanya saja
karena beliau bukan dari kalangan keluarga bangsawan utama, namanya hampir
tidak tercatat dalam babad yang ditulis oleh sastrawan pada waktu itu. Kalaupun
ada yang mencatat namanya hanyalah saat beliau memegang jabatan tertinggi di
kraton Ngayogyakarta, itupun tidak menjelaskan latar belakang Surodipo secara
rinci.
Riwayat Surodipo
justru ditemukan dalam babad (biografi) yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro
saat beliau berada dalam pengasingan di Menado. Kisah dalam biografi tersebut
menggambarkan kedekatan yang sangat mendalam antara Pangeran Diponegoro dengan
Surodipo, bahkan beberapa hal yang paling rahasiapun dibeberkan secara
gamblang. Nama-nama yang pernah digunakan Surodipo adalah sebagai berikut :
Raden Joyosentiko, nama ini dipakai
ketika masih menjadi abdi kepercayaan Pangeran Adipati Anom (ayahanda Pangeran
Diponegoro, kelak HB III).
Tumenggung Sumodipuro, nama ini dipakai
ketika menjabat Bupati Japan (Mojokerto). Beliau memperoleh kepercayaan menjadi
bupati karena jasa-jasanya ketika muncul pemberontakan Sepoy, dan juga karena
jasanya dalam proses pergantian pucuk kekuasaan dari HB II kepada HB III.
Raden Adipati Danurejo IV (Patih
Danurejo IV), nama jabatan tertinggi yang dicapai dalam karir politik Surodipo.
Pengangkatan dalam jabatan ini diraih karena usul John Crawfurd (Residen
Yogyakarta) dan didukung oleh Pangeran Diponegoro. Beliau memegang jabatan ini
dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun (1813-1847), adalah waktu yang
sangat lama untuk jabatan politik kenegaraan.
Pangeran Kusumoyudo, nama kehormatan
anugerah dari pemerintah Hindia Belanda sebagai penghargaan atas prestasi dan
jasa-jasa Patih Danurejo IV selama menjalankan tugasnya. Penghargaan tersebut
diberikan saat dilaksanakan acara serah terima jabatan (purna tugas) Patih
Danurejo IV. Selanjutnya jabatan Patih Ngayogyakarta digantikan Tumenggung
Gandakusuma dengan memakai nama jabatan Raden Adipati Danurejo V (Patih
Danurejo V)
Surodipo, nama yang dipakai
setelah terbebas dari urusan pemerintahan dan menjadi rakyat biasa yang berbaur
di tengah-tengah masyarakat. Pada jamannya dulu nama yang satu ini sangat
populer di kalangan masyarakat jawa. Menurut cerita tutur yang berkembang di
masyarakat, Surodipo sering berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat
yang lain. Pergaulan Surodipo sangat luas di kalangan masyarakat bawah, tetapi
hampir tidak ada yang mengetahui Surodipo adalah mantan penguasa tertinggi
dalam pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta, karena Surodipo sendiri tidak
pernah menceritakan masalah tersebut kepada orang lain.
Jadi Joyosentiko = Tumenggung
Sumodipuro = Patih Danurejo IV = Pangeran Kusumoyudo = Surodipo.
Berdasarkan beberapa
bukti sejarah dan cerita tutur dari para keturunannya yang tersebar di berbagai
tempat, ada dugaan kuat Surodipo menghabiskan masa akhir hidupnya di kawasan
Gunung Prahu Kabupaten Temanggung. Di kawasan ini beliau mendirikan pesantren
untuk menyebarkan agama Islam. Untuk mengenang kesejarahan Surodipo, Pemerintah
Kabupaten Temanggung mengabadikan nama Surodipo sebagai nama tempat obyek
wisata air terjun yang semula bernama Curug Trocoh menjadi Curug Surodipo.
nuwunsewu, bisa ditampilkan sumber2nya mas? baik tertulis maupun cerita. matursembah nuwun
BalasHapusPerkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)