Kamis, 03 Maret 2011

JOKO SANGKRIB



            Setelah Sultan Agung wafat tahta kerajaan Mataram digantikan oleh puteranya yand bernama Sunan Amangkurat 1. Raja Baru itu ternyata kurang bijaksana dalam menjalankan tampuk pemerintahan. Pamannya, Pangeran Bumidirja seringkali memperingatkan agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Namun, nasehat itu sama sekali tidak dihiraukannya. Pada suatu hari, Pangeran Bumidirja memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Ia mengembara sampai ke daerah Bagelen dan akhirnya menetap di daerah Panjer. Di daerah baru itu Pangeran Bumidirja hidup sebagai petani. Agar tidak mudah dikenali ia mengganti namanya menjadi Kyai Bumi.

            Putra dan Putri Kyai Bumi ada 4 orang. Mereka adalah Kyai Gusti, Kyai bagus, Nyai Ageng dan Kyai Bekel. Dari Kyai Bekel lahirlah Kyai Ragil. Kyai Ragil ini kemudian mempunyai anak yang diberi nama Kyai Hanggayuda dan kemudian menjadi demang Kutowinangun. Demang Hanggayuda mempunyai 7 orang anak. Salah seorang diantaranya bernama Jaka Sangkrib. Masa kecil Jaka Sangkrib berlalu dengan ticlak menyenangkan. Sekujur badannya dipenuhi gudig yang menjijikkan Oleh karena itu kemudian ia dijuluki Jaka Gudig. Bau amis yang keluar dari tubuhnya membuat dirinya dikucilkan dari pergaulan. Tidak seorangpun yang mau didekati oleh pemuda itu. Begitu juga saudara‑saudaranya memandang jijik kepadanya. Orang tuanyapun kurang memperhatikannya. Hal itu membuat Jaka Gudig merasa sedih dan hampir putus asa.
            Pada suatu malam yang sunyi ia membulatkan niatnya. la akan pergi entah kemana meninggalkan rumah dan kampung halamannya. la merasa tidak ada gunanya lagi berada di rumahnya. Tidak ada seorangpun yang mengetahui saat kepergiannya. la masuk ke hutan lebat, menuruni tebing yang curam dan mendaki lereng yang penuh semak berduri. laisengaja tidak membawa bekal apapun dari rumah. Biarlah jika aku mati kelaparan atau dimangsa oleh binatang buas, begitu, pikirnya. Sehari‑harinya ia makan seadanya seperti buah-buahan dan daun muda.
Namun, lama kelamaan penyakit gudignya sembuh. Barangkali daun yang dimakannya ada yang berkhasiat obat. Pada suatu hari yang panas ia mandi disebuah telaga yang bening airnya. Bintik-bintik gudig yang masih tersisa dibersihkannya. Demi melihat keadaan kulitnya sudah tampak mulai mulus, semangat hidupnya bangkit kembali. Akhirnya penyakit gudig yang menjengkelkan itu benar‑benar hilang. Bukan main senang hatinya. Jaka Sangkrib keluar dari hutan, tetapi bukan untuk kembali ke kampung halamannya. la bertekad untuk terus mengembara, mencari pengalaman‑pengalaman berharga yang berguna bagi masa depannya. Agar tidak mudah dikenali ia mengganti namanya menjadi Surawijaya.
            Surawijaya memasuki hutan lain yang belum pernah dijamahnya, berhari-hari lamanya. Sampai pada suatu hari ia berhenti di bawah sebuah pohon. Pohon Benda namanya. Surawijaya kemudian melakukan tapa di bawahnya, tetapi pada hari yang ketiga puluh lima ia dibangunkan oleh seseorang yang mengaku bernama Nalagati. Nalagati memohon kesediaan Surawijaya agar mengobati keluarganya yang menderita lumpuh. la mengatakan, bahwa sebelum menemui “Sang Pertapa” ia pernah mimpi. Dalam mimpinya itu ia diberitahu bahwa yang dapat mengakhiri penderitaan keluarganya dari kelumpuhan adalah orang yang sedang melakukan tapa “ngluwat” di bawah pohon benda. Ternyata benar, Surawijaya dapat menjadi perantara sembuhnya lumpuh yang diderita keluarga Nalagati.
            Surawijaya melanjutkan pengembaraannya. la melakukan tapa da n tapa lagi di tempat yang berbeda-beda. Tempat-tempat yang telah didatangi Surawijaya untuk bertapa lagi: sebuah gua di daerah Menganti, hutan Maos, gunung brencong dan bukit Bulupitu di daerah Kutowinangun. Surawijaya selain melakukan tapa juga mencari pengalaman di pondok pesantren. la berguru pada Kyai Amad Yusuf dari desa Bojongsari. Kyai tersebut terkenal sebagai seorang yang pandai dan arif.
Surawijaya diterima menjadi murid di pondok pesantren tersebut, bahkan ia amat disayangi oleh Kyai Amad Yusuf. Kecuali karena kecerdasannya melebihi murid-murid yang lain, ia juga sopan. Di pondok pesantren tersebut, selain mendapatkan pengetahuan di bidang keagamaan, Surawijaya juga memperoleh ilmu kanuragan atau i1mu bela diri. Setelah lama belajar di tempat itu, Kyai Amad Yusuf menyarankan agar Surawijaya mengabdikan diri ke Mataram. la disarankan untuk melamar menjadi prajurit.
            Surawijaya segera meninggalkan pondok itu. Namun dalarn perjalanan hatinya menjadi bimbang. la merasa bekal yang telah dimilikinya belum cukup. Oleh karena itu ia kemudian menghadap kepada Kyai Jaiman dengan maksud untuk berguru. Namun Kyai tersebut menyatakan bahwa Surawijaya telah memiliki ilmu yang lumayan untuk dapat melamar menjadi prajurit. Pada suatu hari Kademangan Kutowinangun, mendapat serangan dari Kademangan Pekacangan yang dimotori oleh tangan kanan Demang Prawiragati yang bernama Surapremati, Surapakewuh, Surabinarong clan Surantaka. Demang Hanggayuda dari Kutowinangun merasa tidak kuasa menahan gempuran dari kademangan Pekacangan. Demang Hanngayuda terpaksa menyingkir ke lembah Ngabehan untuk menyelamatkan diri. Demi mengetahui peristiwa tersebut, Surawijaya bergegas datang ke Kutowinangun. la dengan gagah berani menerjang prajurit-prajurit andalan dari Kademangan Pekacangan. Akhirnya ia berhadapan langsung dengan Demang Prawiragati. Keduanya lalu terlibat dalarn pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus mematikan yang dimilikinya. Namun akhirnya Surawijaya berhasil mengalahkan lawannya. Demang Prawiragati terpaksa melarikan diri dari arena pertempuran.
            Pada waktu itu orang‑orang Kutowinangun belum tahu bahwa Surawijaya yang telah menyelamatkan daerahnya itu sebenarnya Jaka Sangkrib yang telah lama menghilang. Surawijaya kemudian ditawari untuk menjadi Demang di Kutowingun, tetapi hal itu ditolaknya. Pada saat itulah ia membuka kartu, bahwa dialah Jaka Sangkrib yang dikira sudah hilang.
            Jaka Sangkrib teringat akan pesan Kyai Amad Yusuf. Aku disarankan melamar Jadi prajurit Mataram, tetapi bagaimana caranya? Begitu pikirnya. Sayang ia memilih cara yang kurang tepat. Jaka Sangkrib menahan setiap upeti yang hendak dikirimkan ke Mataram yang berasal dari Kademangan-Kademangan di daerah Bagelen. Hal itu membuat Mataram mengirim pasukan untuk menangkap Jaka Sangkrib. Jaka Sangkrib sengaja tidak mengadakan perlawanan ketika para prajurit  merangketnya. Jaka Sangkrib dihadapkan kepada Raja dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Namun, seorang Patih menyarankan agar Raja mempertimbangkan keputusan yang baru saja ditetapkan. Patih tersebut minta agar Raja memanfaatkan kernampuan Jaka Sangkrib guna memadamkan pemberontakan yang selama itu terjadi di daerah Banyumas.
            Di daerah Banumas memang berulang kali terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Supena dan Suratma. Raja kemudian mencabut hukuman yang telah dijatuhkan kepada Jaka Sangkrib. Sebagai gantinya ia harus dapat menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah Banyumas tersebut dengan tidak diberi prajurit dari Mataram. Jaka Sangkrib mendapat bantuan kekuatan dari Kutowinangun. Dengan mantap ia berangkat ke Banyumas. Akhirnya ia berhasil meringkus Supena dan Suratma. Jaka Sangkrib kemudian diampuni kesalahannya dan diangkat menjadi pegawai kerajaan dengan, pangkat Mantri Gladag. la kemudian bergelar Kyai Hanggawangsa. Meskipun telah menjadi pegawai kerajaan, ia tidak mau menetap di Surakarta, tetapi memilih tinggal di Kutowinangun sebagai tempat kelahirannya. Jaka Sangkrib atau yang juga dikenal sebagai Tumenggung Arungbinang I sangat menghormati leluhurnya. Daerah yang pernah menjadi tempat tinggal Kyai Bumi diberi nama Kabumian. Nama tersebut lama kelamaan berubah menjadi Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar