Sejarah awal
mula adanya Kebumen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Mataram Islam. Hal
ini disebabkan adanya beberapa keterkaitan peristiwa yang ada dan dialami
Mataram membawa pengaruh bagi terbentuknya Kebumen. Disamping itu memang daerah
yang kemudian jadi Kebumen adalah masih di dalam lingkup Mataram. Di dalam
struktur kekuasaan yang memiliki kawasan daerah: Negara Agung, Kuta Negara,
Manca Negara dan daerah Bang Wetan serta Bang Kulon. Lokasi Kebumen termasuk di
daerah Manca Negara Bang Kulon. Semenjak belum ada nama Kebumen, daerah ini
tepatnya di Karanglo, sudah terdapat penguasa Kademangan di bawah Mataram
(Zaman Panembahan Senopati sekitar tahun 1584).
Cucu Panembahan
Senopati yakni KI Maduseno (putra perkawinan Kanjeng Ratu Pembayun dengan Ki
Ageng Mangir VI), disembunyikan dan dibesarkan di Karanglo. Pada tahun 1606 Ki
Maduseno kawin dengan Dewi Majati, kemudian berputra KI Bagus Bodronolo. Ia
adalah murid Sunan Geseng dari gunung Geyong. Dan pada waktu Sultan Agung dari
Mataram mencari lumbung pangan untuk pasukannya menyerbu Batavia.Ki Bagus
Bodronolo membantukan lokasi dan pengumpulan pangan dari rakyat desa dengan
jalan membeli. Pada tahun 1627 prajurit Mataram berdatangan ke lumbung padi Ki
Bodronolo yang kemudian daerah itu dinamai Panjer. Ki Buwarno utusan dari
Mataram yang diminta mencari lumbung itu kemudian dijadikan Bupati Panjer yang
bertugas sebagai pengadaan logistic bagi prajurit Mataram. Ki Bagus Bodronolo
yang sebetulnya cicit P anembahan Senopati ternyata dapat menampakkan
kesatriannya. Kemudian ikut dikirim ke Batavia sebagai prajurit pengawal
pangan.
Oleh karena itu
daerah Panjer (sekarang masuk Kebumen) sudah dikenal sejak zaman Sultan Agung
berkuasa. Dalam penyerbuan ke Batavia (1628-1629) . Namun daerah itu belum
diberi nama Kebumen, masih bernaman Panjer. Yang penting perlu dicatat bahwa
daerah ini merupakan tonggak patriotic dalam melawan Belanda sejak jaman Sultan
Agung.
- Mataram pada Zaman Sultan Agung Hanyokro Kusumo
Sultan Agung
Hanyokro Kusumo mulai memerintah Mataram pada tahun 1613 sampai tahun 1645.
Selama 32 tahun itu, menunjukkan bentuk sebagai kerajaan besar dan mencapai
keemasannya. Sultan Agung Hanyokrokusumo Kalifatullah Sayidin Panatagama, telah
berhasil meletakkan dasar falsafah ideology Negara dengan nama "sastra
gending". Disamping ittu, telah diwujudkan Undang-Undang Negara (Paugeran
Negeri, Struktur kerajaan dan wilayah yang sudah diatur) lengkap dan rapi serta
angkatan perang yang cukup kuat.
Pada
pemerintahan Sultan Agung memiliki lembaga tinggi Negara yang dinamai Dewan
Parampara, tugas dan fungsinya sebagai penasehat Raja/Sultan. Anggota Dewan
Parampara itu terdiri : Keluarga Raja yang berusia tua, Sesepuh dan para Ulama.
Sultan Agung sebelum bertindak selalu mengadakan konsultasi dengan dewan
Parampara. Dalam hal ini ada seorang tokoh Saudara Sultan Agung yang juga Ulama
yang duduk pada dewan Parampara, yaitu bernama Kyai Bumidirja. Kyai Bumidirdka
ini yang nantinya sebagai cikal bakal nama Kebumen.
Sultan Agung
memerintah Mataram dengan Bijak, berusaha menegakkan Agung Binathara, wenang
wasesa ing sanagari, namun juga berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta.
Artinya menumbuhkan kewibawaan dengan Agung sebagai penguasa tertinggi, namun
juga punya sifat sabar berbudi luhur dan adil kepada semua insane. Adanya
keseimbangan yang harmonis antara kekuasaandan keadilan, serta bermusyawarah
dalam nenetapkan sesuatu. Hal ini menjadikan Mataram menjadi tentram dan
semakin besar serta rakyatnya makmur.
Menurut catatan
perjalanan Rijklof Van Goens yang lima kali mengunjungi Mataram selama Sultan
Agung disebutkan :
"Mataram dibawah Sultan Agung
bagaikan sebuah imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana
Kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah rama, rumah
penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup
makmur dan tentram. Kraton juga punya penjara, tempat orang-orang jahat
pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di
Jepara"
Pada Jaman
sultan Agung inilah telah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung
pangan (padi) di Panjer, yang kemudian dijadikan Kabupaten Panjer di bawah
kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati yang pertama ialah Ki Suwarno (dulunya utusan
Mataram yang mencaro daerah lumbung padi sebagai logistic pasukan Mataram).
- Mataram pada jaman Amangkurat I
Amangkurat I
memerintah Mataram mulai tahun 1645 sampai dengan 1677. Dikenal dalam babad
maupun sumber arsip daerah Belanda. Bahwa kekuasaan Amangkurat I sangat berbeda
dengan Sultan Agung. Sunan Amangkurat I lebih mengutamakan kekuasaan dengan
kekerasan dan tidak kenal musyawarah serta kompromi. Dewan Parampara penasehat
raja di hapus, pengadilan agama dihapus. Ia berjalan menurut kehendak sendiri.
Perbedaan lain dengan Sultan Agung adalah Amangkurat I lebih suka bersahabat
dengan VOC (Belanda). Pada tahun 1646 menjalin persahabatan dengan VOC yang
dulunya musuh besar Mataram.
Ketentraman dan
keharmonisan kehidupan rakyat jaman pemerintahannya jadi uyar, muncul beberapa
kritik dan nasehat kepada raja, yang datangnya dari keluarga raja sendiri, Laim
Ulama dan masyarakat umumnya. Namun raja amangkurat I tidak mau menerima
nasehat dan kritik, justru yang dijalankan adalah membunuh siapa saja yang
menentang kebijaksabaab Sunan Amangkurat I.
Pada jaman
amangkurat I banyak terjadi intrik-intrik, misalnya antara lain: Pembunuhan
Panegran Alit (adiknya sendiri) yang tidak setuju adanya kompromi dengan
Belanda. Membunuh 6000 Ulama dan keluarganya, karena para tokoh agama itu
sering menasehati raja dan tidak setuju raja yang bersahabat dengan Belanda.
Kasus rebutan perempuan (Roro Oyi), Sunan Amangkurat I berebut dengan putranya
Adipati Anom, sehingga terjadi pembakaran ndalem Mangkubumen, dan masih banyak
lagi.
Pamanda Sunan
Amangkurat I yang bernama Kyai Pangeran Bumidirja yang juga disebut Panembahan
Bumidirja, merasa berkewajiban memberi nasehat kepada keponakannya, apalagi
ketika Sunan Amangkurat I akan membunuh Pangeran Pekik dengan Tumpes Kelor
seluruh keluarganya. Rencana itu didengar Pangeran Bumidirja, yang kemudian
mengajukan nasehat dan keberatan tindakan raja. Sunan Amangkurat I tidak bisa
menerima nasehat itu, bahkan marah dan akan menjatuhi hukuman kishos untuk Kyai
P. Bumidirja. Namun berita itu, telah didengar pula oleh Kyai Bumidirja.
Kemudian ia bersama isitrinya keluar dari Kraton Mataram dan meloloskan diri
kea rah barat. Nantinya Kyai Pangeran Bumidirja ini yang mendirikan daerah
baru, kemudian daerah itu diberi nama Karang Kenbumian, jadilah nama daerah
KEBUMEN.
Meskipun sunan
AMangkurat I selalu berupa mencari Kyai Pangeran Bumidirja, namun utusnannya
tidak pernah kembali, dean selalu ikut bergabung menasehati oleh karena itu
tindakannya semakin kejam. Kekejaman yang dilakukan Sunan Amangkurat I ternyata
membawa dampak adanya ketidak harmonisan kekuasaan raja dengan kehidupan
rakyatnya. Dampak ini menggoyahkan konsep kekuasaan Jawa yang telah dibina oleh
Sultan Agung. Oleh karena itulah timbul keberanian rakyat, kaum bangsawan dan
ulama untuk menentang raja Sunan Amangkurat I.
Kyai Kajoran,
seorang ulama yang juga masih keturunan Panembahan Senopati, mulai menghimpun
kekuatan untuk menghancurkan Sunan Amangkurat I, Kyai Kajoran yang juga disebut
Panembahan Bama dibantu oleh Pangeran Purbaya, Adipati Anon (Paman Sunan
Amangkurat I) dan Trunojoyo (bangsawan dari Madura dan Menantu Kyai
Kajoran),serta dibantu oleh sebagian prajurit mataram yang membelot, mengadakan
serangan ke Kraton Mataram. Dalam perang itu Sunan Amangkurat I menderita
kekalahan. Kemudian melarikan diri ke arah barat, menuju Batavia untuk minta
bantuan VOC (Belanda). Peristiwa itu terjadi pada tanggal 18 Sapar tahun 1600
Saka, sinengkalan Sirna ilang rasaning bhumi, bertepatan pada hari Sabtu legi,
malam Ahad Pahing tanggal 2 Juni 1677.
Lingsir atau
jatuhnya tahta Sunan Amangkurat I ini juga dapat dihubungkan dengan kisah
Kebumen, yaitu Panjer pada tanggal 26 Juni 1677 rombongan Sunan Amangkurat I
sampai di daerah Panjer. Dan singgah di rumah Ki Gede Panjer III. Kebetulan
malam itu hujan lebat. Sunan Amangkurat I minta minum air degan (air kelapa
muda). Namun KI Gede Panjer ( Ki Kertowongso keturunan Ki Bagus Bodoronolo I/
Ki Gede Panjer) tidak dapat memetik Kelapa Muda, maka yang diberikan air kelapa
tua kering (kelapa aking). Dengan minum air kelapa itulah Sunan Amangkurat I
merasa segar dan sembuh sakitnya serta pulih kekuatannya. Atas jasa memberi
minum kelapa aking itulah maka Ki Gede Panjer III diberi gelar Tumenggung
Kelapa Aking I (Tumenggung Kalapaking I) di angkat jadi Adipati Panjer Pertama
dan diberi istri anak Sunan Amangkurat I nomor 18 yaitu Dewi Mulat (Klenting
Abang).
Setelah istirahat di Panjer, Sunan Amangkurat I
dan rombongan mengadakan perjalanan lagi ke Barat namun sesampainya di Tegal
Arung Sunan Amangkurat I wafat, dan disebut juga sebagai Sunan Amangkurat Tegal
Arum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar